“Masyarakat yang berada di sekitar kawasan perbatasan Indonesia dan Enclave Oecusi Timor Leste, memiliki ikatan batin yang erat dalam kesamaan suku, agama, bahasa, maupun dalam ikatan keluarga yang genealogis,” katanya di Kupang, Jumat.
Hal itu disampaikannya saat dimintai pendapat soal tingginya angka kasus pelintas batas ilegal di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Menurut dia, kesatuan Negara Indonesia sebagai suatu “unity” sudah tidak bulat lagi sejak Timor Timur menjadi sebuah negara merdeka yang kini bernama Timor Leste.
"Kenyataannya kini, terdapat wilayah negara lain yakni District Oecusi Timor Leste di dalam wilayah Indonesia," ujar dia.
Lebih lanjut Tadeus yang juga dosen Tata Negara itu juga menilai bahwa masyarakat di NTT (Indonesia) dan Timor Leste juga memiliki harta komunal yang tidak dapat diabaikan dengan adanya perbatasan negara.
Hal ini mengakibatkan interaksi kedua masyarakat di batas administratif ini mengalami hambatan yang tidak jarang menimbulkan konflik panjang, dengan korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak.
Meskipun telah ada perbatasan negara, juga sering terjadi pelintas batas ilegal yang sulit diabaikan.
“Masyarakat kedua pihak sepertinya tidak mau taat terhadap perbatasan negara yang telah ada. Hal ini menunjukkan suatu fakta bahwa dalam penanganan persoalan perbatasan negara, perlu mengakomodasikan kehendak para warga,” paparnya.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT, Petrus Seran Tahuk mengatakan bahwa berbagai kasus terjadinya pelintas batas ilegal itu karena alasan mengunjungi keluarga atau juga ada urusan adat.
"Sehingga hal ini masih terus terjadi. Namun kita tetap memberikan pemahaman dan sosialisasi sehingga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi di kawasan perbatasan," ujar dia.
Baca juga: Satgas amankan pebisnis melintasi batas RI-Timor Leste secara ilegal
Baca juga: Imigrasi Atambua terima dua WNI yang dideportasi dari Timor Leste
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023