Nah provokasi atau pemantik awal bisa melalui nonton film....
JAKARTA (ANTARA) - Film, sebagai media hiburan yang mengandung semua unsur seni di dalamnya, mungkin akan lebih efektif untuk sarana edukasi dan penyampai pesan kebaikan. Dengan daya pengaruhnya yang intrusif, film bisa turut membangun karakter anak muda yang tengah mencari jati diri. Karenanya, pemerintah mendorong industri perfilman agar mampu menjawab aspirasi generasi muda dalam kreasi-kreasinya di masa mendatang.

Anak muda, sebagaimana Profesor Rheinald Kasali melabeli mereka dengan sebutan Generasi Stroberi, lantaran mereka penuh dengan gagasan kreatif namun mudah menyerah alias rapuh. Oleh karenanya, perlu ada afirmasi positif agar mereka dapat mengubah rapuhnya menjadi tangguh, sehingga mampu merealisasikan gagasan cemerlangnya.

Generasi milenial, Z, dan alpha, saat ini menjadi komposisi terbesar penduduk Indonesia. Golongan muda, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, berjumlah 68,82 juta jiwa atau hampir seperempat dari total penduduk di tanah air.

Melihat data demografi itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid berharap akan lahir banyak kajian perfilman di masa mendatang yang bertujuan untuk memahami masyarakat utamanya generasi muda, sebagai mayoritas penikmat film.

“Berbicara tentang perfilman hari ini, di kepala kita perlu dibayangkan bahwa merekalah yang kita tuju,” ujar Hilmar saat membuka konferensi perfilman dalam rangkaian kegiatan Hari Film Nasional 2023 beberapa waktu lalu.

Baca juga: Nadiem Makarim optimistis perfilman Indonesia bisa berkembang

Menurutnya, pelaku industri perfilman perlu mengenali masyarakat yang menjadi penonton, dan menjadikan mereka sebagai basis dari kreasi-kreasi karya film yang hendak diproduksi.

“Kita harus mencermati apa yang menjadi aspirasi, dinamika, sekaligus ketakutan generasi muda saat ini.”

Hilmar berpendapat, harus ada yang menemani generasi muda untuk berpikir dalam proses pencarian jati dirinya. Dan ia berharap insan perfilman nasional mampu menjawab kebutuhan itu.

“Saya kira mereka sangat menantikan film-film yang bisa menjawab isu-isu tersebut,” kata dia.

Sedangkan Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Paggaru memandang penting diterbitkannya Rencana Induk Perfilman Nasional (RIPN) oleh pemerintah sebagai “kompas” atau penunjuk arah bagi pengembangan industri film di masa depan.

Namun kehadiran RIPN yang diharapkan itu, menurut Gunawan, belum ada.


Media edukasi

Ketua Program Keahlian Broadcasting & Perfilman, SMK Negeri 3 Batu, Jawa Timur Adi Wicaksono memiliki pandangan bahwa generasi muda berada pada fase pertumbuhan yang paling menantang.

“Pada fase ini, life learning, interaksi dan social bond, psikoemosional, dan banyak hal lain sedang berkembang, sekaligus rentan,” kata Adi.

Menurut dia, generasi muda bisa melakukan apa saja untuk memvalidasi keberadaan mereka. Mengedukasi generasi muda melalui film adalah salah satu hal yang menantang, dan belum banyak disediakan ruang untuk itu.

“Mengedukasi kalangan anak muda melalui film, seyogyanya, dengan bijak, adalah membantu mereka berhubungan dengan karakter mereka sendiri, sebab akibat dari valuasi negatif secara visual,” sarannya.

Baca juga: DJKI Kemenkumham terus berupaya cegah pelanggaran KI karya film

Dengan hal tersebut, akan dapat mengembangkan empati, dan memperhatikan tindakan mereka.

Anak-anak muda akan belajar lebih baik saat mereka dapat melihat dan mengidentifikasi diri mereka sendiri melalui medium yang mudah dicerna (audio visual/ film), sehingga film, “adalah salah satu cara terbaik untuk memanjakan generasi muda dalam belajar tentang diri mereka sendiri", begitu pendapat Adi Wicaksono.

Yeyen Hendarti Darmawan, seorang pembuat film indie yang tinggal di Pariaman Sumatera Barat, turut urun saran agar sebuah karya film digemari anak muda.

Kata dia, buatlah tema film yang disukai generasi muda terlebih dahulu dan dekat dengan kehidupan mereka. Dengan begitu para generasi muda akan lebih tertarik melirik film tersebut, dan saat itulah para filmmaker atau kreator menanamkan unsur-unsur edukasi tentang moral, etika dan kehidupan yang memberi motivasi generasi muda untuk lebih maju dan positif.

Pembuat film pendek “Manjapuik Raso” yang diambil dari sudut pandang anak muda itu memberi alasan, “Karena tanpa ketertarikan terlebih dahulu akan sulit mengedukasi mereka.”


Ubah rapuh jadi tangguh

Pengamat perkembangan anak, remaja, dan pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Novi Poespita Candra menjelaskan bahwa film yang diperuntukkan anak dan remaja sesuai usia mereka sangat bisa mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku mereka.

Sebagai tayangan audio visual yang dilengkapi dengan alur cerita, film sangat berpotensi menstimulasi seluruh indra manusia dan dipersepsi oleh anak dan remaja.

“Oleh karena ya film sangat berpotensi digunakan untuk edukasi dengan cara membangun pikir, perasaan yang positif,” kata dia.

Baca juga: Kemenparekraf dukung BPI buat rekomendasi untuk kemajuan film nasional

Agar optimal, saran dia, maka setiap selesai menonton sebuah film ada baiknya anak-anak remaja diajak untuk berdialog dan memaknai film tersebut, dikaitkan dengan diri dan kondisi baik saat ini atau kemungkinan masa depan.

“Lebih optimal lagi jika menggunakan teori kognitif vygotsky di psikologi (constructivist), anak-anak bisa membangun pemahaman baru dari apa yang dilihat, dirasa, dan dialami jika ia melakukan dialog dan komunikasi dengan banyak pihak,” papar psikolog UGM itu.

Ia mencontohkan, setelah menonton sebuah film, guru atau orang tua bisa mengajak diskusi antaranak-anak di kelas atau di rumah, sehingga terjadi pertukaran pemaknaan.

Kemudian bagaimana generasi muda yang dianggap rapuh dapat mengubah dirinya menjadi tangguh?

“Anak-anak harus ditumbuhkan kesadaran diri melalui dialog. Dalam psikologi, anak-anak harus dikembangkan kompetensi meregulasi emosi sosialnya dan perilakunya melalui social emotional learning.”

Dalam SEL atau social emotional learning itu, katanya, ada 4 tahap yang bisa dilakukan yaitu provokasi, diskusi, aksi, dan refleksi.

“Nah provokasi atau pemantik awal bisa melalui nonton film, video, membaca buku, mendengar lagu atau cerita, untuk kemudian didiskusikan, lalu coba dilakukan dan direfleksikan,” ujar Novi, peraih Ph.D psikologi di The University of Melbourne, Australia.

Begitu berpengaruhnya tontotan film bagi pembangunan karakter generasi muda, alangkah indahnya jika rancangan produksi film nasional ke depan, dikreasikan dengan memperhatikan kebutuhan revolusi mental para calon pemimpin bangsa itu.

Seraya melihat film sebagai paket karya seni yang lengkap, kiranya masih relevan mengingat ucapan Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara,” seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari keindahan, hingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan orang lain.”

Baca juga: Hari Film Nasional Komnas dorong industri film bebas dari kekerasan

Baca juga: BPI siapkan naskah akademik untuk rancangan UU Perfilman yang baru

Baca juga: Nadiem Makarim optimistis perfilman Indonesia bisa berkembang


Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023