Kalau pun ada area yang dipakai untuk komersial, harusnya mereka memberikan kontribusi pada pembinaan olahraga."
Jakarta (ANTARA News) - Sudah 60 tahun berlalu sejak dibangun atas inisiatif Presiden pertama Indonesia, Soekarno, Gelanggang Olahraga Bung Karno yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan GBK, tak lagi menggelora seperti dulu.

Tujuan dari pembangunan GBK yang diresmikan pada 24 Agustus 1962 itu awalnya untuk mempersatukan anak bangsa dengan rasa nasionalisme yang lebih kuat lewat kegiatan olahraga.

Namun kini terjadi alih fungsi lahan GBK yang semula untuk kegiatan olahraga yang memupuk prestasi, pelan-pelan justru menjelma menjadi arena komersial dengan membangun mall dan hotel di sekitar kawasan GBK.

Meskipun masih menjadi magnet dunia olahraga Indonesia, roh keolahragaannya terisap oleh berbagai kepentingan komersil. Hanya 40 persen dari total lahan seluas 279 hektar itu digunakan untuk fasilitas olahraga. Selebihnya, 30 persen dipakai untuk bisnis dan 20 persen untuk pemerintah.  Ironisnya, seiring prestasi olahraga kita yang tertatih masih harus merogoh dana yang besar untuk memakai fasilitas di kawasan GBK.  Mantan manajer Timnas, I.G.K. Manila, mengungkapkan setiap latihan harus mengeluarkan kocek sekitar 8 juta dan bagi cabang olahraga yang berkantor di GBK harus membayar 50 juta pertahun. Sementara dari seluruh pendapatan GBK, pihak pengelola hanya mendapat 15 persen.

"Sisanya kemana?" kata Mantan Ketua Umum Wushu itu yang ditemui dalam dialog bertema "Revitalisasi GBK, Mungkinkah?" di Jakarta, Selasa.

"Dengan banyaknya mall dan hotel yang dibangun disekitar kawasan GBK ini, apa memberikan kontribusi pada olahraga kita?" tambahnya yang juga mengatakan seharusnya bangunan tersebut turut menunjang kegiatan olahraga.

Hal senada diungkapkan Manajer Anggar Indonesia, Eman Husen, yang berharap agar GBK sebagai pusat olahraga nasional harus dikembalikan kepada fungsinya. Ia menyebut kalau saja anggaran yang diwajibkan bagi tiap cabor untuk penyewaan tempat itu ditiadakan, dananya bisa digunakan untuk kebutuhan lain terutama pembinaan dalam rangka meningkatkan prestasi.

"Kalau pun ada area yang dipakai untuk komersial, harusnya mereka memberikan kontribusi pada pembinaan olahraga," ujarnya.

Hilangnya roh kebersamaan Sekedar mengenang GBK pada tahun 1960-an, mantan atlet tinju nasional, Syamsul Anwar Harahap, yang pernah menjadi penghuni GBK mengisahkan nuansa keperkasaan dunia olahraga Indonesia tergambar ketika memasuki Kompleks Atlet Gelanggang Olahraga Bung Karno.

Saat itu masih ada Wisma Atlet yang berjejer dengan nama jalan yang berasal dari berbagai cabang olahraga. Semua induk organisasi olahraga juga berkantor di sana sehingga membuat rasa dekat antara pengurus dan atletnya.

"Indah sekali suasananya buat dunia olahraga, dapat memicu diri untuk lebih berprestasi diantara belasan ribu atlet lainnya," kenangnya.

Namun sejak dimulainya proyek BOT (Built, Operation, and Transfer) Wisma Fairbanks diawal dekade 70-an, menurutnya GBK sudah disandera oleh kepentingan bisnis. Kemudian diikuti pendirian Hilton Hotel sebagai pelengkap konferensi PATA, menjadikan GBK tercabik-cabik diluar peruntukannya yang sudah ditentukan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai zona olahraga.  "Kini kawasan GBK justru lebih dikenal sebagai kawasan bisnis daripada kawasan olahraga. Hilanglah roh persatuan insan olahraga untuk bisa memacu prestasi yang tinggi demi kejayaan bangsa Indonesia di gelanggang olahraga internasional," tutur Syamsul.

Ia melanjutkan saat ini yang dikatakan GBK adalah Stadion Utama, Stadion Madya, Istora, Lapangan Softball, dan Hall ABC. Sementara itu Kompleks Atlet yang lebih luas sudah sirna.

Menurutnya, walau penginapan atlet sudah ditampung di Hotel Century, tetapi suasana hotel bukanlah habitat olahragawan.  "Membuat perkampungan atlet dan pelatihnya diseputar GBK masih memungkinkan. Kampung atlet seperti yang ada di Palembang yang kita tiru dari Laos, merupakan sarana penginapan yang harmonis buat atlet kita di pelatnas nantinya," lanjutnya.

Terkait soal tempat penginapan atlet, Ketua Umum Pengurus Besar Federasi Olahraga Karatedo Indonesia (PB FORKI), Hendarji Supanji, mengatakan harus membayar 200 juta perbulan untuk biaya penginapan di hotel dari 32 atlet pelatnas karate.

"Padahal olahraga tidak dapat pemasukan apa-apa. Ini yang perlu dipikirkan, olahraga tidak bisa bayar sendiri tetapi butuh kontribusi dari banyak pihak," jelas Hendarji.

Seperti yang dikatakan mantan pecatur bergelar Grand Master (GM), Utut Adianto, "Olahragawan adalah pahlawan. Tetapi itu hanya retorika, tidak bisa dikembalikan seperti jaman dahulu." Utut juga berharap agar pihak Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretaris Negara, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk berunding bagaimana mengembalikan fungsi GBK sebagai pusat olahraga nasional yang menunjang para atlet meningkatkan prestasi.

(M047)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012