Jakarta (ANTARA) -
Perhimpunan Remaja Mesjid (Prima) Dewan Masjid Indonesia (DMI) bersama Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) menggelar diskusi "Memantik Solidaritas Umat Islam Menyikapi Pengekangan Hak Muslim Uighur" di Jakarta, Rabu.
 
Ketua PJMI Ismail Lutan mengatakan diskusi ini berlatarbelakang dari sejumlah pemberitaan media nasional dan internasional atas penderitaan Muslim Uighur di China yang mendapat tekanan atas pelaksanaan hak-hak mereka sebagai seorang Muslim.
 
"Pemberitaan di media massa dan media sosial mengungkap masih ada pembatasan hak-hak beribadah, seperti pelarangan berpuasa dan mendalami Al Quran bagi Muslim Uighur sampai mengarah pada genosida," katanya.
.
Ismail mengatakan informasi itu perlu dikaji lagi sehingga dibuatlah diskusi ini dengan mengundang Direktur HAM Uighur dan orang Indonesia yang pernah diundang China mengunjungi minoritas Uighur di Provinsi Xinjiang serta sejumlah pakar kebijakan luar negeri.
 
Direktur HAM Uighur Omar Kanat yang hadir via zoom mengungkapkan berita tentang penindasan Muslim Uighur di sejumlah kamp adalah sebuah kebenaran, namun ditutupi oleh Pemerintah China sebagai bentuk kegiatan deradikalisasi dan upaya memberantas terorisme.
 
"Ada upaya melenyapkan identitas minoritas Uighur. Mengucapkan assalamualaikum saja dikenai hukuman, demikian juga kalau di rumah mereka ditemukan Al Quran," katanya yang mengikuti diskusi dari Washington DC, Amerika Serikat.

Baca juga: Parlemen Belanda: Perlakuan China terhadap Uighur adalah genosida

Ia mengungkap ada 1.047 imam masjid yang ditangkap dengan alasan radikal dan sampai sekarang sebagian tidak diketahui keberadaanya lagi. "Komunitas Muslim dunia harus terus bergerak menyuarakan penghentian penindasan Muslim Uighur, jangan sampai terdiamkan begitu saja," katanya.
 
Sementara sebaliknya Nanang Qasim, Humas PP Prima DMI yang pernah diundang Pemerintah China mengunjungi Xianjiang tahun 2019 mengungkap, saat meninjau kamp yang dituduhkan sebagai tempat penindasan sebenarnya merupakan tempat pendidikan vokasi untuk menyiapkan tenaga kerja terlatih.
 
"Mereka yang di kamp diberikan pemahaman bagaimana membangun ekonomi dan diberi pelatihan menjahit dan membuat beragam alat produksi," katanya.
 
Nanang Qosim juga mengungkap awal kunjungan ke Xianjian diarahkan mengunjungi museum deradikalisasi yang menunjukkan sejumlah bukti-bukti adanya terorisme dan separatisme di sana.

Namun ia mengatakan,kalaupun informasi tentang penindasan dan genosida Muslim Uighur itu benar, maka sikapnya tetap tegas untuk menentang itu semua.

Ahmad Arafat, aktivis sosial yang menjadi moderator diskusi menyatakan bersyukur karena masih ada kebebasan beragama di negara Indonesia, walaupun di belahan dunia lain masih banyak diskriminasi terhadap umat Islam seperti di Palestina, Kasmir, dan Rohingya.

"Kita mengusung moto 'Satu Umat' jadi bagaimana membangkitkan peradaban Islam dengan syarat adanya persatuan umat Islam dan solidaritas Muslim di negara manapun," katanya.

Baca juga: Xinjiang (masih) jadi batu sandungan Indonesia-China
Baca juga: Trump teken RUU serukan sanksi atas perlakuan China pada Muslim Uighur
 

Pewarta: Budhi Santoso
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023