....memastikan bahwa hubungan antarnegara membawa manfaat baik kepada negara yang terkait dan terutama bagi kita, mutual benefit,...."
Jakarta (ANTARA News) -Tahun 2012 sebentar lagi berlalu seiring dengan dentang ke 12 jarum jam pada 31 Desember nanti.

Bagi perjalanan politik luar negeri Indonesia, tahun ini menyisakan potongan-potongan kisah yang saling bertaut untuk menyokong eksistensi negeri ini di tataran global.

Tidak semua kisah sukses dan manis, namun tiap potongan kisah pada akhirnya melengkapi keutuhan cerita.

Tahun 2012 mencatat kerja keras Indonesia menyambung kembali kebersamaan Asia Tenggara yang "rontok" dihajar kasus Laut China Selatan, menyuarakan kepentingan negara berkembang di G20 dan merumuskan agenda pembangunan pasca-MDGs.

Namun tahun 2012 juga masih menyisakan konflik bilateral dengan negara tetangga dan cerita pilu perlindungan WNI.

Dalam sebuah wawancara khusus dengan ANTARA di penghujung 2012, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa selaku pemimpin jajaran diplomat Indonesia mengemukakan refleksi pribadinya atas sepak terjang politik luar negeri Indonesia.

"Pelaksanaan politik luar negeri adalah suatu proses jadi bukan suatu peristiwa. Tentu ada sepanjang tahun ini beberapa peristiwa, kejadian, pertemuan...Tapi kita harus memahami diplomasi dan politik luar negeri adalah suatu proses yang terus-menerus selama 24 jam tujuh hari seminggu," kata Menlu.

Namun ia optimis bahwa semua yang terjadi dalam satu tahun terakhir semakin mengukuhkan perkembangan Indonesia sebagai kekuatan kawasan yang memiliki perhatian dan kontribusi pada penyelesaian masalah-masalah global.

Dan klaim Menlu kiranya tidak berlebihan apabila menilik perjuangan Indonesia mewujudkan negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan dengan damai bersama negara-negara di kawasan.

Akan tetapi walaupun Indonesia memiliki beragam peran di berbagai forum multilateral, menurut Menlu Marty, pengelolaan hubungan bilateral tetap menjadi inti sari politik luar negeri Indonesia.

"Kita menjabarkan pelaksanaan politik luar negeri yang bersahabat dengan berbagai negara tidak ingin menampilkan negara kita bermusuhan dengan negara lain," katanya saat memaparkan bentuk kebijakan luar negeri Indonesia.

Menurut dia, Indonesia selalu melihat untuk menciptakan kerja sama secara bilateral dan bagaimana menciptakan peluang-peluang ekonomi yang saling menguntungkan.

"Senantiasa memastikan bahwa hubungan antarnegara membawa manfaat baik kepada negara yang terkait dan terutama bagi kita, mutual benefit, karena dalam hubungan antar negara itu tidak bisa keuntungan itu sifatnya sepihak," ujarnya.

Buka hubungan diplomatik
Untuk menunjang peningkatan hubungan bilateral tersebut Pemerintah Indonesia terus melanjutkan upayanya membuka hubungan diplomatik dengan seluruh negara di dunia sepanjang 2012.

Sebelumnya di awal tahun, Menlu Marty mengatakan jika sepanjang 2011 Pemerintah Indonesia telah membuka hubungan diplomatik dengan sembilan negara yaitu Mauritania, El Salvador, San Marino, Montenegro, Republik Dominika, Niger, Sao Tome and Principe, Antigua and Barbuda dan Bhutan.

Pembukaan hubungan diplomatik itu, kata Menlu, merupakan bagian dari sisa 21 negara dimana Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik.

Program itu dilanjutkan pada 2012 dengan menambah sejumlah negara antara lain Haiti, Nauru dan Bostwana.

"Dalam hubungan bilateral bisa dilihat datanya semakin luas cakupan kita...negara-negara yang mungkin di masa lalu belum terangkul kini mereka secara terus- menerus datang ke Indonesia," katanya.

Selain membuka hubungan diplomatik baru, tambah Menlu, Indonesia juga melakukan pendalaman terhadap hubungannya dengan negara-negara sahabat yang telah terjalin dengan baik.

"Agar makin baik lagi," katanya.

Pemimpin yang Teduh
Terkait dengan kepemimpinan Indonesia di kawasan, Menlu Marty menilai jika hal itu tidak diragukan lagi.

"Namun kepemimpinan yang sifatnya teduh bukan kepemimpinan yang seolah marah dengan dunia, 'angry with the world', seolah tampil protes-protes di kiri dan kanan," katanya.

Menurut dia, gaya kepemimpinan Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai bagian dari solusi dan bagian dari negara yang mempersatukan negara-negara di kawasan selain perannya di tataran global.

Ia kemudian mengutip penunjukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai wakil dari Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon untuk memimpin panel bersama dengan Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf guna menentukan agenda pembangunan pasca-MDGs.

Pertengahan tahun ini, seusai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Rio+20 di Brazil, Presiden Yudhoyono menyampaikan prediksinya jika separuh negara di dunia boleh jadi tidak bisa mencapai delapan sasaran yang telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada waktu yang telah ditentukan, 2015.

Delapan target pembangunan MDGs itu adalah pengurangan kemiskinan absolut, pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, pengurangan angka kematian anak dan balita, pengurangan angka kematian ibu melahirkan, upaya mengatasi penyakirt menular seperti HIV dan malaria, pengelolaan lingkungan yang baik serta kerja sama internasional untuk mencapai MDGs.

Menurut Presiden Yudhoyono, sejak MDGs disusun dalam Konferensi Rio 1992 dalam implementasinya ternyata 20 tahun kemudian tidak semua sasaran atau targetnya bisa dicapai.

"Ini realitas tanpa harus mencari siapa yang bersalah dan bertanggung jawab pada tingkat global," kata Presiden seraya menyebutkan bahwa Indonesia pun belum akan sempurna mencapai seluruh target pembangunan tersebut walaupun ia berkomitmen untuk terus berjuang mencapai target yang telah ditetapkan.

Sorotan global
Penunjukan Presiden Yudhoyono itu memperoleh sambutan baik dari sejumlah pihak dan sekali lagi menempatkan Indonesia dalam sorotan global. Negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang berjuang untuk mencapai target-target MDGs tentunya berharap Indonesia mampu mewakili mereka menyuarakan segala hambatan, tantangan dan tentunya harapan akan agenda baru pasca-2015.

Sementara itu negara-negara maju yang acapkali berperan sebagai donor tentunya juga memiliki harapan agar Indonesia mampu menjembatani kedua belah pihak.

Yudhoyono secara tegas juga telah mengatakan bahwa MDGs acapkali direduksi sebagai hanya urusan negara berkembang atau bagaimana upaya negara-negara untuk mengatasi kemiskinan absolut.

"Tidak (seperti itu--red). Ada kewajiban dunia, ada kewajiban negara-negara maju agar MDGs itu bisa dicapai," kata Presiden.

Tidak hanya Presiden, 2012 juga mencatat peran penting saat Menlu Marty berhasil "menyambung" kembali kebersamaan negara-negara anggota ASEAN yang menegang pasca-kegagalan negara-negara itu mencapai kata sepakat terkait konflik Laut China Selatan.

Kegagalan pertemuan tingkat menteri luar negeri yang berlangsung di Kamboja itu membuat Menlu Marty melakukan lobi diplomasi ke berbagai negara untuk dapat meloloskan kesepakatan bersama terkait kode perilaku (coc) di Laut China Selatan. Lobi itu dilakukan Menlu karena meskipun Indonesia sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua ASEAN, peran dan kepemimpinan Indonesia di kawasan masih dinantikan untuk membawa negara-negara kawasan bersama melalui tantangan dan hambatan yang hadir sebelum mencapai masyakarat ASEAN 2015.

Diplomasi dan kerja keras tersebut berbuah manis dengan melahirkan enam prinsip ASEAN terhadap sengketa Laut China Selatan (ASEAN`s Six-Point Principles on the South China Sea). Deklarasi enam prinsip tersebut menjadi oasis ditengah kegagalan komunike bersama.

Enam prisnip itu, di antaranya mengafirmasi deklarasi sikap terhadap permasalahan Laut China Selatan. Penerapan bersama Code of Conduct (CoC) juga jadi hal penting, selain menghargai hukum internasional yang berlaku, yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Lindungi WNI
Sementara itu terkait dengan perlindungan WNI di luar negeri, Menlu kembali menggarisbawahi komitmen pemerintah untuk lebih meningkatkan upaya-upaya yang telah dilakukan.

"Khusus untuk WNI, kita tampilkan tiga pendekatan, yaitu pencegahan, deteksi dini dan perlindungan," katanya.

Tiga pendekatan itu menurut Menlu merupakan perluasan dari pendekatan di masa lalu yang lebih terkonsentrasi pada perlindungan.

"Sudah ada masalah baru kita berikan perlindungan. Sekarang kita lakukan pencegahan secara lebih baik, jangan sampai suatu masalah itu timbul," katanya.

Namun, Menlu menyadari jika pencegahan memerlukan kerja sama bukan hanya dari luar negeri melainkan terutama di dalam negeri.

"Karena masalah-masalah yang timbul di luar negeri tidak jarang diakibatkan atau disebabkan oleh langkah-langkah kita atau kekurangan-kekurangan kita di dalam negeri, misal pemalsuan identitas, ketidaksiapan pekerja kita dan sebagainya," ujarnya.

Sepanjang 2012 data Kementerian Luar Negeri menunjukkan bahwa jumlah WNI yang mengalami masalah di luar negeri telah berkurang lebih dari 40 persen. Disebutkan juga bahwa 101 WNI yang terancam hukuman mati telah berhasil dibebaskan.

Dan sebagaimana pernyataan Menlu, keberhasilan itu adalah proses dari sukses yang diharapkan akan jauh lebih besar lagi di masa-masa mendatang.

(G003/A011)

Oleh Gusti Nur Cahyani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012