Kuala Lumpur (ANTARA) - Seorang perempuan pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia di Malaysia mengalami penyiksaan selama enam bulan dan tidak diberi gaji sejak dirinya mulai bekerja.

Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono pada Senin di Kuala Lumpur mengatakan PRT asal Banyuwangi, Jawa Timur itu, Nani (bukan nama sebenarnya), mengadu kepadanya saat dijenguk di RS Kuala Lumpur pada Minggu (30/4) siang bahwa majikannya telah melakukan penyiksaan sejak September 2022.

Namun Nani, kata Hermono, tidak berdaya karena dilarang keluar rumah dan tidak diperbolehkan memegang alat komunikasi.

PRT berusia 39 tahun itu mengalami luka bakar di bagian punggung dan lengan akibat disetrika dan disiram air panas. Bagian matanya pun terlihat hitam lebam akibat dipukul majikan.

Selain itu, gajinya pun tidak dibayar sejak pertama bekerja pada Maret 2022.

Karena tidak tahan ketika punggung dan lengannya disetrika, Nani mengaku dia berteriak sekuat tenaga hingga teriakannya terdengar oleh tetangga majikannya. Teriakan itulah yang mengakhiri penderitaannya setelah sang tetangga melapor ke kepolisian setempat.

Hermono mengatakan pada 23 Maret 2023 Polisi Resort Brickfield menyelamatkan Nani, yang kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Menurut polisi, majikan perempuan yang diduga menyiksanya sudah ditahan.

Menurut Nani, penyiksaan yang dialaminya selalu dilakukan di depan majikan laki-laki dan anak-anak mereka, tetapi tidak ada yang mencegah kebrutalan majikan perempuan.

Hermono mengatakan saat menjenguk Nani, ia dapat melihat jelas bekas-bekas luka di beberapa bagian tubuhnya.

Nani mengaku rambutnya yang semula panjang digunting paksa saat dia diseret ke kamar mandi.

Jika dibandingkan fotonya pada paspor dengan kondisinya yang sekarang diperkirakan berat badan Nani turun sekitar 10 kilogram atau lebih, kata Hermono.

Hermono meminta Kepolisian Malaysia untuk menuntut pula majikan laki-laki yang membiarkan penyiksaan istrinya terhadap Nani.

“Ini penting untuk memberi efek jera kepada majikan yang kejam. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kekerasan dan eksploitasi terhadap PRT Indonesia akan terus terjadi,” kata dia, menegaskan.

Hermono, yang telah menjabat sebagai dubes selama 2,5 tahun itu, mengaku heran mengapa kekerasan dan eksploitasi terhadap PRT asal Indonesia terus terjadi.

Hampir setiap hari KBRI Kuala Lumpur menerima laporan terjadinya perlakuan tidak manusiawi terhadap PRT Indonesia, sementara hampir tidak pernah terdengar perlakuan serupa dialami oleh pekerja dari negara lain.

Rumah penampungan (shelter) KBRI selalu penuh oleh pekerja migran Indonesia (PMI) yang meminta pelindungan KBRI.

Sebagian besar kasus yang dialami oleh PMI adalah gaji yang tidak dibayar. Menurut Hermono, beberapa PMI tidak dibayar gajinya lebih dari 10 tahun, padahal majikan mereka orang berada.

Dia mengatakan akar masalahnya bisa jadi karena adanya semacam sikap merendahkan (superiority complex) sebagian orang Malaysia terhadap PMI dan tidak takut pada konsekuensi hukum.

“Saya rasa ini harus menjadi perhatian serius keberlanjutan pengiriman PRT ke Malaysia,” katanya.

Nani berangkat ke Malaysia untuk menjadi PRT ketika Indonesia belum membuka pengiriman PMI akibat pandemi COVID-19 dan Malaysia pun belum membuka masuknya pekerja asing.

“Artinya, pemberangkatan Nani ke Malaysia adalah tidak resmi (non-prosedural) dan pemberangkatan non-prosedural ini masih terus terjadi hingga saat ini,” ujar Hermono.

Dia memastikan bahwa KBRI Kuala Lumpur akan memonitor secara ketat penanganan kasus itu oleh penegak hukum Malaysia untuk memastikan pelaku penyiksaan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Baca juga: Akankah Astuti jadi korban perekrutan PRT ilegal terakhir ke Malaysia?
Baca juga: Malaysia tegaskan gaji PRT sesuai gaji minimum

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023