Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan perkebunan sawit PT Asian Agri mengajukan peninjauan kembali terkait putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum perusahaan itu dengan denda Rp2,5 triliun.

Kuasa hukum Asian Agri, Mohamad Assegaf, di Jakarta, Minggu, mengingatkan peraturan dan perundangan yang berlaku menekankan permasalahan perpajakan Asian Agri Group diselesaikan dengan pendekatan administrasi, bukan secara pidana yang merupakan upaya terakhir "Ultimum Remedium".

Selain itu, kata Assegaf, setengah lebih dari anak perusahaan Asian Agri sudah diproses secara hukum pajak melalui Pengadilan Pajak dan menerima putusan berkekuatan hukum tetap beberapa waktu lalu untuk membayar utang pajak yang ada.

Karena itu, menurut dia, dua keputusan majelis hakim tingkat kasasi yang dipimpin Djoko Sarwoko dalam kasus pajak Asian Agri patut dipertanyakan.

Sebelumnya, Mahkamah Agung juga memutuskan mantan manajer pajak perusahaan nasional itu, Suwir Laut, diganjar hukuman 2 tahun penjara dengan masa percobaan selama 3 tahun, setelah terbukti melanggar Pasal 39 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pajak.

"Berarti ada dua kali putusan dalam perkara ini. Itu patut dipertanyakan. Keputusan Djoko Sarwoko menjatuhkan denda pajak yang bukan merupakan dakwaan dan tuntutan jaksa kepada 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian agri Group patut dipertanyakan," kata Assegaf.

Akibat tindakan yang tergesa-tergesa tersebut, menurut dia, ada beberapa kesalahan dalam pengambilan keputusan.

"Putusan yang diambil Mahkamah Agung seharusnya mengikuti konstruksi yang didakwa dan yang dituntut jaksa dan tidak menyimpang dari situ," kata Assegaf.

Dia juga berpendapat, Suwir Laut tidak bisa dianggap mewakili perusahaan. "Suwir Laut diadili sebagai pribadi dan bukan perusahaan. Karena itu, kami menilai keputusan tersebut diambil secara tidak cermat," kata Assegaf.

Assegaf juga menilai putusan tingkat kasasi itu tidak teliti, khususnya pada putusan terhadap 14 perusahaan dalam Asian Agri Group untuk membayar denda sebesar Rp2,5 triliun.

Undang-Undang Pajak mengedepankan pendekatan administratif. Jika dalam pengisian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak, Dirjen Pajak seharusnya melakukan tindakan Administratif dalam bentuk penerbitan SKPKB/SKPKBT, sesuai ketentuan yang diatur dalam pasal 12 ayat (3) Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Sementara itu, General Manager Asian Agri Group, Freddy Widjaya menilai, tuntutan pajak yang dituduhkan sebesar Rp2,5 triliun tidak masuk akal.

Selama periode 2002-2005, jumlah total penghasilan bersih Asian Agri adalah Rp1,24 triliun. "Tidak masuk akal jika dihukum untuk membayar pajak setara dengan nilai penghasilan bersih," katanya.

Freddy mengatakan, perusahaan perkebunan ini adalah pembayar pajak yang cukup besar pada periode 2002-2005.

"Kami sangat yakin telah melaporkan dan membayar jumlah pajak yang benar sesuai dengan peraturan yang berlaku," ujarnya.

Pendapatan dan tingkat keuntungan Asian Agri sejalan dengan industri di Indonesia untuk periode 2002-2005, meskipun 40 persen dari produksi berasal dari petani plasma.  (A027/KWR)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013