Jakarta (ANTARA) - Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti menyoroti banyak narasi yang bermunculan di tengah masyarakat terkait dengan kasus anak berkonflik dengan hukum tanpa pertimbangan kerentanan anak perempuan.

 Anak AGH (15) yang diduga terlibat dalam kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Mario Dandy (20) terhadap korban David (17).

"Kami melihat dari berbagai narasi yang muncul selama ini di publik sangat tidak mempertimbangkan adanya suara dan pengalaman dari perempuan sebagai seorang anak dan juga sebagai perempuan, terutama dia mengalami kerentanan dan yang paling dirugikan dalam relasi seksual dengan laki-laki maupun orang dewasa," ujar Ratna dalam Konferensi Pers: Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH, Rabu.

Menurut dia, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah sangat menyoroti isu anak perempuan menjadi isu khusus sebab AGH sebagai perempuan yang mengalami kerentanan dari jenis kelamin, tetapi juga kerentanan sebagai anak.

Ratna juga melihat banyak eksploitasi terhadap berita-berita terkait hubungan seksual antara anak AGH dengan David maupun Mario Dandy. Hal ini tentu menempatkan anak AGH dalam bingkai perempuan yang tidak baik.

"Cara pandang ini kami sebut sebagai cara pandang sangat bias, terutama stereotipe gender, dengan mengobjektifikasi tubuh dan seksualitas perempuan dikotak-kotakkan sebagai perempuan baik dan tidak baik. Sama sekali tidak melihat bagaimana dia rentan sebagai anak perempuan," katanya.

Ia melihat kondisi ini merupakan ciri khas dalam masyarakat patriarki karena nilai-nilai patriarki turut masuk dalam sistem hukum pidana. Tidak hanya itu, dalam perkara ini mulai dari putusan, pertimbangan, hingga cara pandang jaksa maupun putusan hakim hanya mempertimbangkan fakta yang disodorkan oleh jaksa tanpa melihat fakta yang diungkapkan AG, Mario Dandy, dan Sean (19).

"Misal yang menginformasikan bahwa AGH sama sekali bukan tenang melihat penganiayaan, bahkan ketakutan. Dia juga sudah meminta Sean untuk melerai," tambah dia.

Baca juga: Polda Metro Jaya akan tindak lanjuti laporan pencabulan Mario Dandy
Baca juga: Kuasa hukum anak AGH telah sampaikan laporan pencabulan ke Polda Metro


Selain itu, Ratna menilai kamera CCTV tidak ditayangkan dan diulas serta tidak menjadi bahan pertimbangan dalam perkara. Padahal, apa yang ditampilkan dapat menentang tuduhan-tuduhan yang misogini terhadap anak AG.

Dalam proses ini, terutama dalam pertimbangan dan putusan hakim, menurut dia, sangat bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Hakim dinilai tidak melihat bahwa dalam perkara ini faktor relasi gender dan kuasa itu hal yang sangat penting ditegaskan dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017 ketika mengadili perempuan yang berhadapan hukum.

Adapun dari awal hakim membeberkan hubungan AGHdengan Mario Dandy yang sudah pernah beberapa kali melakukan hubungan seksual. Dia melihat hakim membingkai anak AGH bukan anak baik.

"Ini betapa kuatnya narasi yang membingkai AGH di publik ini yang juga sangat banyak memengaruhi jalannya proses hukum," tutur Ratna.

Untuk itu, dia merekomendasikan beberapa hal agar diselidiki. Pertama, dalam tahapan kasasi di MA, MA mempertimbangkan kerentanan anak AGH dan potensi adanya grooming atau manipulasi anak oleh orang dewasa.

Pertimbangan ini dapat disusun dengan mengacu bukti baru yang dilampirkan, yaitu hasil pemeriksaan psikologis forensik AG, laporan penelitian kemasyarakatan, dan fakta yang muncul di ruang sidang.

Kedua, agar aparat penegak hukum secara seksama dan serius memproses hukum Mario Dandy terkait dengan dugaan kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, juga menjamin pemenuhan hak korban kekerasan seksual merujuk pada UU TPKS bagi AG.

Ketiga, mendorong agar masyarakat umum dan lembaga baik negara terkait misalnya Komisi Yudisial dan Dewan Pers merespons masalah-masalah yang muncul dari kasus ini, yaitu proses hukum di pengadilan yang bermasalah dan pemberitaan di media yang tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Keempat, agar Dewan Pers segera membuat pedoman dalam penulisan/peliputan berita atau kasus yang melibatkan perempuan dan anak, dan pemberitaaan kekerasan seksual, serta memberi perhatian khusus terhadap anak perempuan yang memiliki kerentanan ganda (usia dan gender), sebagai pelengkap pedoman pemberitaan anak yang telah ada (Peraturan Dewan Pers No. 1/PERATURAN-DP/II/2019).

Kelima, agar dilakukan langkah-langkah hukum untuk menindaklanjuti potensi malapraktik atau pelanggaran kode etik maupun Perma No. 3/2017 dalam proses hukum perkara AGH maupun putusan pertama dan banding.

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023