Jakarta (ANTARA) - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila Riza Darma Putra menyatakan keterlibatan penggunaan film dan media yang kekinian bisa menumbuhkan sikap kesiapsiagaan bencana dalam diri generasi muda masa kini.
 

“Jadi untuk membangun kesiapsiagaan melalui komunikasi itu harus kuat, harus bisa menimbulkan kesadaran. Ini memang butuh proses, tapi begitu masyarakat sadar, mereka akan paham dan terbiasa,” kata Riza kepada ANTARA di Jakarta, Senin.
 

Riza menuturkan dari sebuah penelitian yang dilakukan bersama mahasiswa di Jakarta Selatan, sosialisasi dalam rangka menumbuhkan sikap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana ternyata belum secara rata diterima masyarakat perkotaan.
 

Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya tiga siswa MTSN 19 Jakarta yang meninggal tertimpa tembok sekolah yang roboh akibat hujan lebat yang memicu debit air naik di Jakarta Selatan pada Oktober 2022 lalu.
 

Menurut dia, kejadian itu merupakan dampak dari ketidakpahaman masyarakat terkait potensi bencana di wilayahnya dan tidak tersampaikan sosialisasi di lapangan secara langsung. Sehingga pemerintah perlu mengubah metode komunikasi kebencanaannya.
 

“Jadi tiap daerah pasti punya karakteristik kebencanaannya sendiri. Kita tidak bisa melakukan sosialisasi tentang tsunami seperti di Jakarta Utara misalnya, ke daerah yang mungkin seperti di Jakarta Selatan yang malah potensinya lebih tinggi banjir atau gempa. Kejadian di MTSN 19 itu karena anak-anak tidak tahu, dan gurunya juga tidak paham,” ucapnya.
 

Walaupun pemerintah sudah berupaya menumbuhkan pemahaman kebencanaan melalui berbagai platform kementerian/lembaga terkait, sosialisasi akan lebih sampai bila pemerintah juga mengandalkan media yang digemari oleh generasi muda seperti Aplikasi Instagram, Tik Tok hingga Facebook.
 

Konten yang diangkat bisa berupa panduan menghadapi suatu bencana, seperti ketika pramugari pesawat mempraktekkan panduan kondisi darurat selama penerbangan. Cara ini dianggap bisa menstimulus alam sadar masyarakat, karena terbiasa melihat dan dijelaskan dengan cara yang mudah.
 

Kemudian pemerintah juga bisa memanfaatkan media film, dengan memasukkan narasi atau mengangkat kasus yang lekat dan dirasakan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari beserta cara mitigasi atau penanggulangannya.
 

“Kita juga bisa mencontoh drama dari Korea misalnya, saya tanya mahasiswa saya mereka jadi tahu dan paham karena Korea bisa menyesuaikan konteksnya dengan situasi di negaranya. Misalnya drama yang terkait dengan BMKG baru-baru ini, jadi masyarakat kita paham risiko bencana karena iklim di Korea seperti apa,” katanya.

Lebih lanjut akan lebih baik bila BNPB bersama Kemendikbudristek bisa membuat satu waktu khusus seperti halnya Jepang untuk mempraktikkan waktu darurat ketika bencana di sekolah, agar sikap kesiagaan menghadapi bencana sudah tumbuh sejak anak di usia muda.
 

Sebab Riza menyoroti minimnya pemahaman masyarakat terkait mitigasi bencana, didasari oleh pemilahan kata-kata yang digunakan terlalu ilmiah dan berat untuk bisa diterima masyarakat. Misalnya, sinar ultraviolet yang hanya diperkenalkan dampak buruknya ketimbang pengertian sesungguhnya.
 

“Maka dari itu, dibutuhkan kerja sama pentaheliks antar bidang sehingga bisa gaya bahasanya bisa lebih ringkas dan efektif untuk disampaikan. Komunikasi itu harus sesuai dengan target khalayaknya karena akan berbeda pula caranya,” katanya.

Baca juga: Menanamkan kesiagaan sejak dini melalui simulasi gempa

Baca juga: Kemensos intensifkan koordinasi kesiagaan bencana dengan instansi terkait


 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023