kalau lahan yang digunakan untuk perdagangan karbon sudah "clear" pada awal, itu baru bisa diperdagangkan,
Jakarta (ANTARA) - Dengan masih mengenakan sepatu kets hitam, celana hitam dan kaus putih lengan panjang digulung, Presiden Joko Widodo masuk ke "rawa" di Taman WIsata Alam (TWA) Angke Kapuk, Jakarta pada Senin (15/5) untuk menanam pohon mangrove.

Aktivitas nyemplung itu dilakukan bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dan pejabat terkait lainnya dalam acara Puncak Penanaman Mangrove Nasional.

Karena harus nyemplung, para pejabat dan sekitar 1.000 prajurit itu harus merelakan badan mereka basah hingga paha bahkan ada juga yang basah sampai ke dada karena mendapat lokasi penanaman yang cukup dalam.

"Yang mau wawancara ke sini," kata Presiden Jokowi sambil mengayunkan tangan ke depan, ke arah wartawan yang mengambil gambar dari dermaga bambu tanpa kebasahan.

Setelah penanaman mangrove, Presiden Jokowi menyebut penanaman bakau ini adalah untuk melindungi pesisir Indonesia dari kemungkinan perubahan iklim sehingga air permukaan laut naik atau terjadi gelombang besar di pesisir.

"(Penanaman) ini menjadi puncaknya. Kita tahu kita memiliki mangrove terluas di dunia, 3,3 juta hektare hutan mangrove kita terbesar di dunia. Itu yang harus kita rawat, kita pelihara, kalau ada lahan kritis kita tanami kembali sehingga jangan sampai ada hutan mangrove kita yang rusak," ungkap Presiden.

Luas hutan bakau di Indonesia memang mencapai 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 33 miliar karbon dioksida (CO2) atau 950 ton karbon/hektare. Indonesia juga termasuk negara dengan garis pantai terpanjang di dunia.

Selain mangrove, Indonesia juga memiliki hutan gambut terluas, yaitu 7,5 juta hektare, yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 55 miliar ton dan juga hutan hujan tropis seluas 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.

Dengan ketiga kekuatan hutan tersebut, bukan saja Indonesia dapat terjaga dari perubahan iklim, melainkan juga memiliki potensi besar ekonomi dari perdagangan karbon.


Perdagangan karbon

Secara sederhana, perdagangan karbon adalah transaksi jual beli kredit karbon. Kredit karbon merupakan representasi hak bagi satu perusahaan untuk menghasilkan emisi karbon atau gas rumah kaca lain dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Pemerintah tempat perusahaan tersebut berproduksi akan menetapkan batasan kredit karbon yang bisa dihasilkan perusahaan di wilayahnya. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit miliknya maka perusahaan itu bisa menjual kreditnya di pasar karbon.

Sebaliknya, apabila emisi yang dihasilkan perusahaan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahaan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau, misalnya, perusahaan pemilik lahan hutan. Lembaga verifikasi akan menerbitkan kredit karbon berbentuk sertifikat yang menentukan besaran kredit karbon yang dihasilkan.

Dengan demikian, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca (GRK) secara signifikan.

Indonesia sendiri menargetkan penurunan GRK sebesar 29-41 persen pada 2030 dan komitmen nol emisi pada 2060. Bahkan, dalam Dokumen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined  Contribution (NDC) yang ditingkatkan, Indonesia menargetkan pengurangan emisi 31,89-43,2 persen pada 2030.

Perdagangan karbon juga akan membuka peluang ekonomi baru bagi negara-negara yang berpartisipasi.


Persiapan Indonesia

Pemerintah saat ini sedang menyiapkan regulasi perdagangan karbon. Sesungguhnya dasar hukum sudah ada yaitu berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang ditetapkan pada 12 Januari 2023.

Dalam Pasal 24 UU disebutkan bahwa perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon. Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pusat bursa karbon berkedudukan di Indonesia.

Ketentuan selanjutnya untuk perdagangan karbon melalui bursa karbon akan diatur dalam Peraturan OJK setelah dikonsultasikan dengan DPR (Pasal 26).

Untuk membahas implementasi UU tersebut, pada 3 Mei 2023, Presiden Jokowi memimpin langsung rapat internal soal perdagangan karbon yang dihadiri oleh Menko Perekonomian  Airlangga Hartarto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan pejabat terkait lainnya.

Seusai rapat, Bahlil Lahadalia menyatakan pemerintah menyepakati bahwa perdagangan karbon di Indonesia tidak boleh dijual di bursa luar negeri.

"Kita ingin dijual di bursa Indonesia dan harganya harus lebih baik," kata Bahlil pada 3 Mei 2023.

Menurut Bahlil, karbon di Indonesia tetap diperdagangankan secara terbuka tapi harus teregistrasi dan semuanya lewat mekanisme tata kelola perdagangan dalam bursa karbon di Indonesia yang akan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.

"Nanti registrasi semua di LHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), tapi registrasinya sekali saja. Sebelum masuk ke bursa karbon diregistrasi dulu di LHK setelah itu baru bisa melakukan perdagangan di bursa karbon, seperti trading saham biasa," ungkap Bahlil.

Namun sejumlah hal masih perlu diperbaiki termasuk soal penataan izin konsesi hutan lindung, hutan konservasi, dan izin-izin lain.

"Ini yang akan kita lakukan peninjauan. Kalau sekarang, kan konsesinya itu dimiliki oleh perusahaan-perusahaan. Nanti semuanya dikendalikan dan akan diatur tata kelolanya oleh pemerintah supaya karbon yang pergi keluar negeri bisa dijual, karena kalau tidak dibuat sertifikasi kita tidak tahu berapa yang menjadi sumber pendapatan negara kita," tambah Bahlil.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto lebih lanjut menjelaskan sektor-sektor yang paling berkaitan dengan perdagangan karbon, antara lain, sektor energi, kehutanan, dan industri.

Sektor energi berkaitan dengan transisi energi dengan program sudah ada dihasilkan dari KTT G-20 yakni program transisi energi yang adil (Just Energy Transition Programme atau JETP) dan program ASEAN Net Zero Emmition. Program-program ini bekerja sama dengan Jepang, beberapa negara G20, dan G7.

Di sektor kehutanan, Airlangga menyebut salah satu indikatornya adalah hutan dan lahan yang digunakan (forest and land use/FOLU). Selain itu, hal terpenting juga sertifikasi dan keterlacakannya (traceability).

Sementara untuk sektor industri, fungsi kliring menjadi penting yaitu melalui sistem resi gudang (SRG) yang teregistrasi di KLHK.

"Jadi, kalau lahan yang digunakan untuk perdagangan karbon sudah clear pada awal, itu baru bisa diperdagangkan," kata Airlangga.

Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan kementeriannya hanya menjadi pendukung untuk menunjukkan suplai karbon dari mana saja. Arifin menyebut standardisasi dan penghitungan nilai karbon akan dilakukan di kementerian masing-masing, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, serta Kementerian Perindustrian.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua OJK Mahendra Siregar menargetkan bursa karbon diluncurkan pada semester II 2023.


Praktik perdagangan karbon

Praktik perdagangan karbon di Indonesia sesungguhnya sudah dilakukan, namun jumlahnya masih sedikit. Contohnya di Kalimantan Tengah, terdapat proyek perdagangan karbon dalam bentuk carbon offset bernama Katingan Mentaya yang didirikan dan dikelola oleh PT Rimba Makmur Utama (RMU).

Proyek Katingan Mentaya berjalan melalui konservasi lahan gambut seluas 149.800 hektare yang menyimpan lebih dari 90 persen karbon. Proyek itu sekaligus menyelamatkan hutan gambut di wilayah Katingan dari pengembangan perkebunan akasia industri dan berpotensi melepaskan 450 juta ton karbon dioksida dalam 60 tahun ke depan.

Katingan Mentaya masih menggunakan perhitungan karbon standar Verified Carbon Standard (VCS) dan Community and Biodiversity Standards (CCB).

Untuk itu, menurut analis dari Climate Policy Initiative Indonesia Alke Rabinsa Haesra dalam dalam program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Jakarta, diperlukan dasar penetapan harga karbon oleh lembaga verifikasi Indonesia sendiri.

"Baseline penentuan harga seperti apa? Satu karbon dari PLTU apakah sama dengan karbon dari transportasi atau dari mesin produksi? Yang penting itu pricing untuk ditentukan karena harga kewajaran naik turun ditentukan dari baseline itu karena yang belum ada adalah kewajaran harga itu yang bisa diterima swasta dan masyarakat," kata Alke.

Alke menyebut mekanisme perdagangan karbon sesungguhnya dapat mengalihkan arus keuangan dari negara maju, yang menghasilkan banyak karbon, ke negara berkembang yang membutuhkan dana untuk pertumbuhan ekonominya namun memiliki banyak potensi energi hijau seperti Indonesia.

"Carbon trading di Indonesia masih berkutat perdagangan karbon PLTU, untuk sektor lain belum ada peraturannya. Karena itu sumber pasar karbon di Indonesia masih di tahap yang sangat awal. Kita sudah ada di jalur yang benar tapi untuk omzet surplus emisi di PLTU dan yang di perusahaan efek masih tahap perkembangan," ungkap Alkde.

Alke mendorong pemerintah segera memiliki target penyelesaian aturan bursa karbon, apalagi tekanan internasional agar Indonesia memiliki bursa karbon semakin kuat.

"Indonesia juga sudah punya pasar karbon dan ada stand by buyer, tapi peraturan untuk pasar karbon belum ada. Jadi, regulasi dan barangnya ada dulu harus bisa dipertanggungjawabkan," tambah Alke.

Senada dengan Alke, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu mengatur mengenai tarif dan perizinan perdagangan termasuk siapa yang jadi penyelenggara.

"Di Eropa jelas penyelenggara bursa karbon boleh dari bursa komoditas, bursa berjangka, atau bahkan perusahaan-perusahaan teknologi. Di Swedia setiap individu bisa beli kredit karbon dengan kripto karena pasarnya terbuka. Kalau memenuhi syarat izin bisa jadi penyelenggara, kalau punya uang bisa ikut pasar karbon," kata Bhima dalam diskusi publik.

Bhima menyerankan penyelenggara bursa karbon berbeda dengan penyelenggara bursa efek, misalnya perusahaan teknologi. Tujuannya adalah agar menciptakan inovasi dan pengembangan layanan seperti yang terjadi di beberapa negara yang memperdalam bursa karbon dengan teknologi.

Lebih lanjut, karakter bursa efek dan bursa karbon pun berbeda.

"Yang satu hitungannya saham, yang satu lagi kredit karbon. Saham adalah bukti kepemilikan suatu perusahaan sementara yang satu ini bukan bukti kepemilikan tapi ternyata dari karbonnya, bukan kalau kita beli karbon lalu hutan di Kalimantan dipegang sama perusahaan yang beli kredit karbon itu, tapi karbonnya jadi barang intangible jadi berbeda dengan kepemilikan," ungkap Bhima.

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun berharap ada tiga hal yang dapat menjadi perhatian pemerintah dalam menjalankan regulasi bursa karbon.

Pertama, regulator harus menjaga jarak dengan penyelenggara bursa karbon. Kedua, penyelenggara bursa karbon harus independen karena dinilai akan menarik minat pelaku pasar karbon di seluruh dunia untuk turut meramaikan perdagangan karbon di Indonesia. Terakhir, penilai emisi gas rumah kaca harus kredibel dan dapat menjadi referensi harga karbon.

Oleh karena itu, perlu peta jalan yang holistik dengan tetap membuka inovasi, agar pasar karbon di Indonesia, selain menguntungkan secara ekonomi, namun benar-benar dapat mendorong percepatan net zero emissions.


Editor: Achmad Zaenal M



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023