Jakarta (ANTARA) - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menegaskan diperlukan kepemimpinan nasional yang berkomitmen kuat untuk melawan oligarki dan memperkuat kelembagaan partai politik guna mencegah berlanjut-nya situasi stagnasi demokrasi yang saat ini ditengarai terjadi di Indonesia.

"Kita membutuhkan pemimpin atau jajaran pemimpin yang punya komitmen kuat, pertama untuk melawan oligarki, dan yang kedua komitmen untuk membantu memperkuat kelembagaan partai politik," kata Firman dalam webinar Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bertajuk "Vote Minus Voice: Urgensi Penguatan Kapasitas Lembaga Demokrasi" yang diikuti dari Jakarta, Selasa.

Firman menuturkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil mengingat ada catatan bahwa kepimpinan nasional pascareformasi mampu menggalang kekuatan koalisi partai politik (parpol) pendukungnya, untuk mewujudkan rencana kerjanya.

Oleh karena itu ke depan, Firman berharap ada pemimpin nasional yang kuat dengan komitmen untuk memperbaiki parpol dan itu akan didukung oleh koalisi parpol pengusung.

"Sehingga ada gelombang besar dari sisi leadership untuk memperbaiki negara ini, dengan melawan oligarki dan memperkuat partai politik," ujarnya.

Partai politik diyakini menjadi salah satu elemen penting dalam mewujudkan hak pilih yang ditunaikan dari bilik pemilu menjadi suara dalam penyelenggaraan negara.

Oleh karena itu penguatan pelembagaan partai politik penting guna menghindari cengkeraman oligarki, yang menurut Firman banyak ditemui dalam penelitian-penelitian yang dilakukannya.

Dalam webinar tersebut, Firman, yang saat ini tengah menjadi Visiting Fellow Researcher di Lund University, Swedia, memaparkan materi-nya yang bertajuk "Oligarki, Partai Politik, dan Kemunduran Demokrasi".

Firman mengawali paparannya dengan menyampaikan pengalamannya melakukan penelitian ke sebuah parpol di Padang, Sumatera Barat, pada 2001, dan menemukan bahwa kepengurusan di sana tersebut menjadi replika kepengurusan pusat yang kebanyakan akademisi dan/atau aktivis sosial.

Baca juga: Busyro: Oligarki politik bergantung kultur parpol

Baca juga: BRIN: Perlu parpol "sehat" untuk lepas dari jerat oligarki


Akan tetapi, ketika melakukan penelitian lanjutan dua tahun berselang, Firman mendapati pengurus generasi awal sudah tidak lagi terlihat dan justru digantikan orang-orang yang sebelumnya hanya berada di level sekunder, yang kebanyakan adalah pengusaha lokal.

Temuan Firman sejalan dengan fenomena politik nasional yang dituangkan Ketua Partai Golkar 1998-2004 sekaligus Ketua DPR 1999-2004, Akbar Tandjung, melalui disertasi-nya yang belakangan diterbitkan sebagai "The Golkar Way".

Firman menuturkan dalam "The Golkar Way", tergambar-kan terjadinya faksionalisasi di tubuh Partai Golkar yang terbagi menjadi tiga kelompok yakni Struktural di bawah Akbar Tandjung, Tradisional di bawah Wiranto, dan Saudagar di bawah Jusuf Kalla.

"Ternyata yang memenangkan pertarungan adalah kaum saudagar. Dan saya amati setelah itu tren yang terjadi adalah kebanyakan partai-partai oleh pimpinan yang punya latar belakang pengusaha, termasuk partai yang saya teliti di Padang itu," ujarnya.

Menurut Firman tren tersebut berlangsung sampai saat ini dan nyaris tidak ada peralihan lagi, sejalan dengan pendapat ilmuwan politik Amerika Serikat, Jeffrey A. Winters, bahwa selepas oligarki sultanistik era Orde Baru berakhir justru menciptakan model baru yakni oligarki ruling collective.

Oligarki sultanistik adalah keadaan yang terjadi karena adanya monopoli sarana pemaksaan oleh satu oligark, sedangkan oligarki ruling collective adalah kepemimpinan bersama yang secara sadar mulai mendekati partai-partai politik guna menjaga kepentingan dan keuntungan.

Firman meyakini bahwa oligarki berbasis ekonomi lebih banyak mendominasi kepemimpinan partai-partai politik di Indonesia disebabkan antara lain kesenjangan kualitas pemimpin, pilihan rasional, lingkungan politik yang pragmatis dan mahal, menguat-nya peran pebisnis dalam politik, serta ketimpangan ekonomi yang tinggi.

Kondisi tersebut membuat pergeseran peran kalangan pengusaha dari sekadar menjadi elemen penyokong, menjadi pemimpin, bahkan akhirnya mendirikan parpol di Indonesia.

Dampak jangka panjang dari itu adalah pembajakan kehidupan demokrasi bahkan stagnasi demokrasi.

Selain parpol, AIPI menyoroti bahwa upaya mengkonversi hak pilih menjadi suara dalam penyelenggaraan negara juga memerlukan perbaikan dalam tiga aspek lain yakni penyelenggara pemilu, lembaga perwakilan, dan penguatan partisipasi publik.

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023