Davos, Swiss (ANTARA News) - Begitu Presiden Barack Obama memulai masa jabatan keduanya, elite bisnis dan politik dunia mengharapkan keterlibatan Amerika lebih jauh dalam mengatasi tantangan keamanan internasional.

Dari Suriah sampai Mali, dari Iran sampai Laut China Selatan, keengganan Amerika Serikat untuk melibatkan diri dalam konflik yang jauh dari negerinya, menjadi topik pembicaraan terhangat dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos tahun ini.

Ketidakhadiran para pejabat tinggi pemerintahan Obama dalam rembukan tahunan di pegunungan Swiss itu mengisyaratkan bahwa AS telah menarik diri dari kepemimpinan global, kendati mungkin ketidakhadiran ini karena bentrol dengan Pekan Pelantikan Obama di Washington.

Padahal para pemimpin Rusia, Jerman, Inggris, Italia, Afrika Selatan, Yordanian dan banyak negara lainnya menghadiri perhelatan tahunan itu.

Memang banyak bankir, pengusaha dan akademisi AS yang menghadiri pertemuan itu, tetapi pejabat tertinggi pemerintahan AS yang menghadiri Davos kali ini hanyalah Wakil Menteri Keuangan, asisten Menteri Luar Negeri dan perwakilan Kadin AS (USTR).

Para anggota delegasi mendebatkan apakah dan kapan China akan mengangambilalih posisi ekonomi nomor satu dan penguasa global dari Amerika Serikat (diprediksi pada 2020-an), dan bahaya apa jika Washington tetap berdiam diri seperti sekarang.

Seorang menteri yang menolak disebutkan jati dirinya menekankan bahaya "dunia tanpa kepemimpinan Amerika".

Tanpa keterlibatan AS, kata peserta Forum Davos, Suriah akan menjadi "Somalia di Mediterania", sementara negara-negara Timur Tengah terlibat perang laten melalui faksi-faksi sektarian yang beberapa diantaranya akan mengekspor militan ke negara-negara tetangganya dan Eropa.

Iran mungkin mempercepat program nuklirnya demi mendobrak isolasi internasional, kata Vali Nasr dari Universitas Johns Hopkins, karena Washington menekannya dengan sanksi ekonomi namun enggan menjalin hubungan diplomatik langsung atau melancarkan aksi militer.

Taliban baru di Suriah


Dalam satu pidato kenegaraannya, Raja Abdullah dari Yordania mengatakan bahwa tentaranya yang juga dikirim ke Afghanistan untuk memerangi kaum militan di Afghanistan, kini menghadapi "Taliban baru di Suriah" di mana sekutu-sekutu Alqaeda menancapkan pengaruhnya pada pasukan pemberontak yang memerangi Presiden Bashar al-Assad.

Membutuhkan waktu bertahun-tahun setelah Assad jatuh untuk membersihkan Suriah dari Alqaeda, kata sang raja.

Kerajaan di gurun yang ringkih itu telah menampung sekitar 300.000 pengungsi Suriah. Dan ini telah menyedot sumber daya dan stabilitas politik Yordania.

Sejumlah orang Suriah di pengasingan yang menghadiri Forum Davos mengeluhkan Yordani yang telah menutup perbatasannya untuk para pejuang oposisi Suriah.

Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu yang negaranya menampung sekitar 150.000 pengungsi dan menjadi garis belakang bagi pejuang anti-Bashar, mengatakan bahwa komunitas internasional suatu hari nanti harus meminta maaf kepada rakyat Suriah karena dunia gagal turun tangan mencegah pembunuhan massal, seperti dilakukan mereka di Rwanda beberapa tahun lalu.

Sekurang-kurangnya 60.000 orang terbunuh dalam perang saudara yang sudah berumur dua tahun di Suriah, kata PBB.

Pangeran Turki al-Faisal dari Arab Saudi yang merupakan anggota senior keluarga kerajaan Saudi dan mantan kepala badan intelijen serta duta besar Saudi untuk London dan Washington, mengatakan bahwa para pemberontak tidak menerima bantuan senjata antipesawat dan antitank karena AS melarang pengiriman senjata ke pihak ketiga.

Para pakar strategis AS menjelaskan bahwa kepentingan utama Washington di Suriah  adalah melindungi Israel dan menjamin senjata kimia tidak jatuh ke tangan teroris.

Keengganan serupa ditampilkan Washington kepada Prancis dengan hanya menyampaikan dukungan verval dan intelijen kepada Prancis dalam perang di Mali melawan kaum militan sekutu Alqaeda yang tumbuh besar di kawasan-kawasan tak berpemerintahan di Sahara dan Sahel.

Sedikit saja yang memperkirakan Obama akan melancarkan inisiatif damai baru.

Obama sendiri telah berjudi dengan upayanya menghidupkan kembali perundingan Israel-Palestina ketika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak meghentikan pembangunan pemukiman di tanah pendudukan.

Amerika Serikat juga enggan lagi melakukan intervensi militer di dunia Islam karena tak ingin mengulangi "kutukan" akibat mengintervensi Irak dan Afghanistan, kata Gideon Rose, editor jurnal politik Foreign Affairs.

Poros Asia

Sejumlah peserta Forum Davos menyebut bergesernya perhatian strategis Obama ke Asia dan kawasan Asia Pasifik yang ekonominya tumbuh cepat itu adalah salah satu alasan mengapa ketegangan-ketegangan politik meningkat di Timur Tengah dan Afrik Utara.

Lawatan luar negeri pertama Obama setelah terpilih kembali ke Asia Tenggara November lalu dibayangi oleh memanasnya kontlik Israel-Palestina di Gaza. Ini adalah satu pengingat bahwa isu tersebut bisa meledak kembali suatu waktu.    

Konflik iitu hadir di tengah fase hubungan yang berbahaya di sekitar Asia Timur antara China dan Jepang, antara Korea Utara dan para tetangganya, dan di atas semua, antara China melawan Amerika Serikat.

Mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd yang juga pakar soal China, mendesak Obama menggunakan masa jabatan keduanya untuk menciptakan prakarsa besar dalam membangun hubungan keamanan yang kooperatif dengan China, sebagian demi menghindarkan konflik di Laut China Selatan.

Namun Rose meragukan pemerintahan Obama mau mengambil langkah yang terlalu ambisius.

Sementara Wu Xinbo, Dekan Fakultas Studi Internasional pada Universitas Fudan di China, mengatakan Washington mesti mulai mencoba mengakhiri patroli udara dan lautnya yang agresif di lepas pantai China, yang disebutnya mirip strategi "pembendungan" semasa Uni Soviet dulu.

Dia menyuarakan keprihatinan bahwa Jepang kini diperintah oleh pemerintahan yang lebih nasionalis yang bisa mengambil pendekatan yang ofensif dalam mempersengketakan sekumpulan pulau di Laut China Selatan yang oleh Jepang disebut Senkaku, tapi disebut Diaoyu oleh China.

Joseph Nye, mantan pejabat AS dan akademisi Universitas Harvard yang belum lama ini mengunjungi Jepang dan China mengatakan kedua negara saling mengkhawatirkan tumbuhnya nasionalisme dan militerisme di kedua negara, kendati ini bukanlan nasionalisme ala 1930-an.

Tapi Nye mengatakan bahwa kepemimpinan baru di dua negara itu akan memprioritaskan pembangunan ekonomi dan memberi tempat kepada Amerika Serikat untuk secara hati-hati berkirim pesan kepada keduanya, bahwa ada prospek bagi hubungan tiga pihak yang kuat diantara ketiganya.  

Sumber: Reuters

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013