pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan yang seharusnya melindungi anak
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong LMI (43) dan HSN (50), pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat yang menjadi tersangka kasus kekerasan seksual, agar dihukum maksimal.

"Berpedoman pada UU Nomor 17 Tahun 2016 dan UU Nomor 12 Tahun 2012, KemenPPPA mendorong aparat penegak hukum agar memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak-hak korban dapat dipenuhi," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

LMI dan HSN diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023 dan tiga korban diantaranya telah membuat laporan polisi.

Saat ini, keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur.

Nahar menegaskan kasus dengan modus diantaranya 'janji masuk surga' melalui 'pengajian seks' ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat.

Baca juga: Polisi terapkan pasal berlapis terhadap kiai pelaku kekerasan seksual
Baca juga: Mengembalikan makna takzim untuk cegah kekerasan seksual di pesantren


Bahkan, menurut Nahar, pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16 - 17 tahun.

"Pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan yang seharusnya melindungi anak dan menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini, pelaku justru melanggarnya dengan melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya," kata Nahar.

Nahar mengemukakan bila perbuatan tersangka memenuhi unsur Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan, korbannya lebih dari satu orang, dan perbuatannya dilakukan berulang.

"Maka pelaku terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang," katanya.

Hukuman maksimal yang menanti tersangka dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

KemenPPPA juga berharap penegakan hukum kasus ini juga menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dimana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi sebagai korban kekerasan seksual.

Baca juga: KPPAA minta Pemprov singkirkan guru ngaji pelaku kekerasan dari santri
Baca juga: LBHM nilai vonis mati Herry Wirawan tidak beri efek jera pelaku
Baca juga: KPPPA kawal proses hukum pelaku kekerasan seksual santri di Musi Rawas

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023