... Erdogan juga menginginkan penawaran baru dengan Barat.
Jakarta (ANTARA) - Tidak banyak politikus di dunia yang dapat memimpin negerinya hingga mencapai jangka waktu sekitar dua dekade. Recep Tayyip Erdogan adalah salah satu yang langka itu.

Erdogan mengemban amanat sebagai Perdana Menteri Turki pada periode 2003-2014. Sejak tahun 2014 hingga kini, mantan Wali Kota Istanbul itu menjabat sebagai Presiden Turki.

Dewan Pemilu Turki pada Minggu (28/5) juga telah memastikan kemenangan Erdogan dalam pemilihan presiden Turki 2023 putaran kedua dengan peraihan suara sebanyak 52,14 persen.

Dengan 99,43 persen kotak suara telah dibuka dan dihitung, kepala Dewan Pemilu Turki Ahmet Yener menyatakan bahwa pesaing Erdogan yaitu Kemal Kilicdaroglu dinyatakan hanya menerima 47,86 persen.

Yener menyatakan bahwa dengan ada perbedaan lebih dari 2 juta suara di antara kandidat, maka sisa kotak suara yang belum dihitung dinilai tidak akan bisa mengubah hasil yang ada.

Kilicdaroglu, yang menantang Erdogan dalam Pilpres Turki tahun ini, menyatakan bahwa pemilihan kali ini adalah "pemilihan yang paling tidak adil selama bertahun-tahun".

Namun demikian, Kilicdaroglu menyatakan bahwa dirinya tidak akan mempersengketakan hasil pemilu presiden tersebut.

Ucapan selamat dari berbagai kepala negara berdatangan dari seluruh penjuru dunia, salah satunya dari Presiden Rusia Vladimir Putin.

Putin, dalam pesan kepada Erdogan seperti dikutip Reuters, menyatakan memberikan selamat kepada "teman baik" Erdogan atas kemenangannya dalam pilpres.

Selain itu, Putin menyatakan bahwa kemenangan dalam pemilu tersebut merupakan hasil alamiah dari kerja tanpa pamrih yang dilakukan Erdogan sebagai kepala negara Republik Turki.


Kebijakan independen

Putin juga memuji Erdogan yang dinilai telah melaksanakan kebijakan luar negeri yang independen.

Makna dari kebijakan luar negeri yang independen tersebut, tentu mengacu kepada kebijakan Erdogan yang dinilai tidak selalu patuh kepada kepentingan sejumlah negara Barat, terutama dari Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang sangat menentang invasi Rusia ke Ukraina.

Tidak hanya Putin, rivalnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, melalui cuitan Twitter, menyatakan pihaknya "mengandalkan penguatan kemitraan strategis untuk manfaat negara mereka, sebagaimana memperkuat kerja sama untuk keamanan dan stabilitas di Eropa".

Dengan menekankan kepada "kerja sama untuk keamanan dan stabilitas di Eropa", tidak sukar untuk dibaca bahwa Zelenskyy juga menginginkan Erdogan agar dapat memperkuat posisinya untuk menentang invasi Rusia yang telah berjalan lebih dari setahun.

Tidak lupa berbagai pihak pendukung Ukraina juga mengucapkan selamat atas kemenangan Erdogan, misalnya, Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel melalui Twitter menyatakan bahwa pihaknya ingin memperdalam hubungan Uni Eropa-Turki. Pesan serupa juga ditulis oleh kepala Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam Twitternya terkait dengan kemenangan Erdogan.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga menyampaikan selamat serta berharap agar kerja sama kedua negara seperti dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dapat diperkuat.

Selama ini pemberian status keanggotaan NATO bagi Swedia masih terhambat oleh persetujuan pemerintahan Turki di bawah arahan Presiden Erdogan.

Bukan rahasia umum pula bahwa terhambatnya perluasan NATO selama ini, menurut kantor berita Reuters, menjadi duri dalam hubungan bilateral antara Washington dan Ankara.


Peran penting

Sejumlah media lainnya juga menyoroti peran penting Turki dalam konflik Rusia dan Ukraina.

Misalnya, laman newsweek.com menyatakan bahwa Turki telah berperan penting dalam meredakan konflik karena kerap menjadi mediator antara Kiev dan Moskow.

Menurut Newsweek yang merupakan media dari AS itu, Erdogan telah melaksanakan dengan baik antara dukungan kepada Ukraina di satu sisi, tetapi di sisi lainnya juga mempertahankan hubungan diplomatik yang erat dengan Rusia.

Erdogan mengecam invasi Rusia ke Ukraina sebagai "tidak bisa diterima", tetapi dia juga menyuarakan kritik kepada tanggapan yang diberikan pihak Barat kepada perang tersebut.

Selain itu, Erdogan juga menolak penerapan sanksi ekonomi kepada Rusia. Pemerintah Turki juga menyediakan bantuan drone atau pesawat nirawak kepada militer Ukraina.

Namun, Newsweek mengingatkan bahwa kemenangan Erdogan akan menjamin keberlanjutan dari status quo dari kondisi peperangan di Ukraina, yang hingga kini masih belum tampak jelas bagaimana akhirnya.

Sementara itu, BBC mengingatkan bahwa Erdogan menjadi penengah yang mengakibatkan Rusia mengakhiri blokade terhadap pengiriman biji-bijian Ukraina.

Perjanjian yang disebut Inisiatif Biji-Bijian Laut Hitam itu mengakibatkan produk pertanian dari Ukraina itu dapat terkirim ke berbagai kawasan lainnya di dunia.

Menurut BBC, Erdogan yang selama bertahun-tahun telah menjalankan kebijakan luar negeri yang independen mengakibatkan dirinya dapat membuat hubungan yang bersifat tawar-menawar dengan berbagai pihak.

BBC juga menyatakan pemahaman Erdogan saat ini adalah untuk membuat Turki menjadi hebat kembali.

Senada, peneliti tamu di Pusat AS dan Eropa di Brookings Institution (lembaga pemikir berbasis di Washington DC) Asli Aydintasbas, seperti dikutip dari vox.com, berpendapat bahwa Erdogan mengidamkan hegemoni seperti Kekaisaran Turki di zaman dahulu.

Menurut Aydintasbas, Erdogan percaya bahwa Turki ditakdirkan untuk kembali menjadi kekuatan global utama pada abad ke-21.

Tentu saja, kebijakan luar negeri yang independen dan terlepas dari pengaruh negara-negara Barat pada saat ini tidak hanya dilakukan oleh Turki.

Selain Turki, kebijakan yang bersifat tidak selalu manut atau patuh dengan keinginan Barat juga ditunjukkan oleh sejumlah negara lain seperti Brazil dan India.

Terutama terkait dengan konflik antara Rusia dan Ukraina, negara-negara tersebut berupaya untuk mencari keseimbangan antara Rusia dan pihak Barat.

Namun, Erdogan memiliki sejumlah keunggulan karena Turki adalah salah satu negara anggota dari NATO, yang selama ini kerap dilihat sebagai blok militer utama dari pihak Barat.


Keinginan transaksional

Aydintasbas berpendapat bahwa Erdogan memiliki keinginan yang transaksional tetapi bukannya tidak rasional sehingga Erdogan juga menginginkan penawaran baru dengan Barat.

Analisis serupa juga disuarakan oleh seorang diplomat dari negara Barat yang memilih untuk anonim, sebagaimana dikutip dari laman media japantimes.co.jp.

Selain transaksional dengan Barat, diplomat tersebut melihat hubungan Erdogan dengan Putin bukanlah bromance (persahabatan akrab), melainkan murni transaksional.

Dengan keunggulan untuk melakukan transaksional baik dengan pihak Barat yang mendukung Ukraina di satu sisi, begitu pula dengan pihak Rusia yang menyerang Ukraina di sisi lain, menjadikan Erdogan memiliki sejumlah opsi.

Namun, harus diingat pula bahwa kemenangan Turki juga diwarnai dengan kondisi perekonomian domestik yang semakin memburuk.

Seperti diketahui, setelah Erdogan dinyatakan menang sebagai pemilu, nilai tukar lira (mata uang Turki) jatuh ke rekor terendah terhadap dolar AS.

Nilai tukar lira terhadap dolar telah jatuh lebih dari 7 persen sejak awal tahun, dan kehilangan lebih dari 90 persen nilainya selama dekade terakhir, menurut kantor berita Reuters.

Erdogan juga telah lama menyadari hal tersebut. Dalam pidato kemenangannya pada Minggu (28/5), Erdogan menyatakan bahwa isu yang paling mendesak untuk negaranya adalah inflasi.

Presiden Turki itu optimistis bahwa inflasi akan dapat diatasi, karena menurut dia, pihaknya telah merancang rencana ekonomi yang berfokus kepada investasi dan lapangan kerja, serta tim manajemen keuangan yang memiliki reputasi internasional.

Dengan PR yang besar mengatasi karut marut kondisi perekonomian dalam negeri, dampak kemenangan Erdogan berpotensi membuat kebijakan luar negeri akan tetap status quo dalam konflik Rusia dan Ukraina sehingga perang tersebut dicemaskan akan berlanjut dalam periode yang sangat panjang.




Editor: Achmad Zaenal M


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023