....kami terus berpesta dua minggu penuh dari pagi hingga petang...."
Jakarta (ANTARA News) - Angin kering nan dingin bersuhu antara lima hingga enam derajat celcius berhembus cukup kencang pada satu malam di penghujung Januari 2013.

Hembusan angin itu menyergap rombongan peserta pameran peralatan konstruksi dan pertambangan Bauma 2013 dan para jurnalis, termasuk enam orang jurnalis Indonesia, saat keluar dari gedung Messe München International Jerman.

Di hadapan para rombongan, dua bus besar yang dilengkapi alat pengontrol suhu telah menunggu dan siap mengantarkan mereka ke pusat ibukota negara bagian Bayern Republik Federal Jerman itu.

Dari Olof-Palme straße, bus melaju di sisi kanan jalan melewati bangunan beton berbentuk balok yang diselingi pepohonan tanpa daun serta tanah berumput dan sebagian berselimut es di tepi trotoar.

Bus berhenti di depan Gedung Teater Bavaria di Max-Joseph-Platz setelah menempuh perjalanan sekitar sembilan kilometer.

Perjalanan dilanjutkan berjalan kaki dengan menyusuri deretan toko serta restoran di Maximilianstraße hingga bertemu muka bangunan Hofbräuhaus di jalan tua Platzl.

Balai bir

Rombongan disambut tiga orang berpakaian khas Bavaria, yaitu baju Dirndls dan Lederhosen, ketika akan memasuki balai pesta makan dan minum bir pada petang itu.

Jajaran meja panjang di tengah kursi yang saling berhadapan lengkap dengan peralatan makan memenuhi ruangan besar berhias bendera-bendera lambang daerah Bayern.

Sementara, di ujung deretan meja itu terdapat panggung pertunjukan yang menghadap para tamu dengan latar papan berlukis celah bangunan dan nama "Hofbräuhaus München" disertai dua logo "HB" di kanan-kiri.

Petang itu, panggung Hofbräuhaus menampilkan sekelompok band pria yang memainkan akordion, tuba, gitar, drum, terompet, saksofon, dan seruling dan melantunkan lagu marching ala Bavaria.

Di meja makan kami, rombongan jurnalis Indonesia, satu papan besar dari potongan kayu menyuguhkan hidangan segar hasil pertanian seperti bawang lokal, timun, daun sawi, keju, mentega, dan berbagai olahan daging babi.

Menu pembuka itu juga dilengkapi aneka roti, termasuk pretzel yang digantung di tiang kayu serta bir gandum dalam gelas-gelas maß.

Pelayan yang hilir-mudik juga siap menghidangkan menu non-babi dan non-alkohol jika diminta. Tapi, tentu saja tidak ada nasi atau mi di menu mereka.

Di sela-sela peralihan makan pembuka dengan menu utama, seorang wanita berpakaian dirndls, ciri khas petani Jerman, naik ke panggung dan bernyanyi. Lalu, dua wanita lain ikut naik ke panggung dan mereka bertiga menari memutar-mutar badan.

Satu tarian selesai, giliran tiga pria berpakaian lederhosen, yang identik dengan kaus kaki panjang dan celana pendek bertali hingga pundak, naik ke panggung dan menari dengan menepuk-nepuk bagian tubuh mereka.

Keenam penari itu kemudian saling berpasangan dan berdansa diiringi irama akordion.

Khas Bavaria

Salah seorang panitia penyelenggara menyebut pesta makan bersama yang diselingi tarian dan musik seperti itu seringkali diselenggarakan pada hajatan-hajatan orang Bavaria.

"Ketika seseorang punya bayi, pernikahan, ulang tahun, pesta musim semi, dan tentu pesta Oktoberfest," kata perempuan panitia itu.

Panitia yang enggan menyebut namanya itu melanjutkan orang-orang Bavaria juga dapat menyelenggarakan pesta makan bersama itu di luar ruangan.

"Jika Oktoberfest, kami terus berpesta dua minggu penuh dari pagi hingga petang dengan berbagai orang memakai pakaian tradisional," katanya sembari menunjuk dua wanita berpakaian dirndls dengan rok beraneka motif.

Perempuan itu melanjutkan pakaian dirndls dan lederhosen juga biasa dipakai orang-orang Bavaria pada acara Natal dan pernikahan.

Pesta makan bersama petang itu belum usai, makanan penutup pun belum disajikan. Tapi kami, rombongan jurnalis Indonesia, memutuskan meninggalkan balai bir dan kembali ke penginapan.

Melewati deretan toko suvenir di Orlando straße, kami berjalan menuju stasiun kereta listrik bawah tanah di Marienplatz saat gerimis turun di suhu sekitar enam hingga tujuh derajat celcius.

Makanan porsi besar, bir, rokok, dan pakaian tebal yang menjadi tampak di  Hofbräuhaus agaknya menjadi senjata bagi orang-orang lokal untuk mengusir hawa dingin di dataran dekat dengan pegunungan Alpen itu. (I026)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013