Dakar (ANTARA) - Elhaji Cisse sibuk ratusan kali mengunggah cuitan saat kerusuhan terjadi di luar perumahannya di pinggiran ibu kota Senegal, Dakar, pada Jumat, ketika hari itu dia kehilangan nyawa.

Dalam salah satu unggahannya, mahasiswa berusia 26 tahun itu mengingat 1.700 pengikutnya bahwa pasukan keamanan menembakkan peluru tajam ke arah pengunjuk rasa.

Dalam unggahan lainnya, dia membagikan informasi mengenai cara menolong orang-orang yang terluka di jalan.

Di luar media sosial, dia juga membantu orang-orang lanjut usia yang menjadi tetangganya tentang cara mengurangi siutasi tidak nyaman akibat menghirup gas air mata, kata adik laki-lakinya, Djimbala Ba.

"Dia menghabiskan waktu membantu orang lain," kata Ba (24), yang menangis saat diwawancarai di rumah tempat dia dan kakaknya dulu tidur di kamar yang sempit. "Dia patriot yang baik."

Sekitar jam 21.00 pada Jumat itu, setelah menghabiskan semangkuk kuskus dan susu, Cisse pergi ke mesjid untuk salat meski aparat keamanan dan  demonstran bentrok di sekitar tempat ibadah itu, kata Ba dan temannya, Cheikh Ndiaye.

Beberapa menit kemudian, Cisse tertembak.

Enam belas orang tewas dalam kerusuhan paling maut di Senegal dalam beberapa dekade terakhir.

Kerusuhan itu dipicu oleh vonis penjara terhadap pemimpin oposisi Ousmane Sonko. Hukuman itu bisa menggagalkan upayanya mencalonkan diri dalam pemilihan presiden Februari mendatang. Dia mengaku tidak bersalah.

Para pendukungnya menilai dakwaan itu bermotif politik. Ribuan orang lalu turun ke jalan, melempari pasukan keamanan dengan batu, membakar mobil dan bangunan, serta merampok toserba dan pompa bensin.

Polisi membalasnya dengan gas air mata dan tindakan tegas, yang dianggap berlebihan oleh kelompok-kelompok HAM. Pemerintah Senegal mengaku sudah menangkap 500 orang.

Aparat keamanan membantah telah menembaki pengunjuk rasa atau melakukan tindakan yang berlebihan.

Baca juga: Sidang kasus pemerkosaan oleh pemimpin oposisi Senegal dilanjutkan

Cisse berencana pergi ke Kanada untuk melanjutkan studi, kata Ba. Dia sering mengenakan jersey Real Madrid, klub sepak bola kesayangannya.

Saat kerusuhan kian sengit pada Jumat, dia menghabiskan waktu berjam-jam dengan ponselnya demi  mengirimkan cuitan yang menentang pemblokiran internet secara parsial.

Dalam salah satu unggahan terakhirnya sebelum pukul 18.00, dia meminta pemilik Twitter, Elon Musk, agar membantu orang-orang Senegal terhubung kembali dengan internet.

Tiga jam kemudian, ketika berjalan pulang dari mesjid, dia tertembak di bahu, hanya beberapa langkah dari rumahnya, kata Ba dan teman-temannya.

Sebuah video TikTok memperlihatkan seseorang, yang mereka sebut Cisse, tergeletak tak bergerak, sementara seorang pria berusaha menekan lengan atasnya. Sekelompok orang lalu membawanya ke rumah sakit.

Seorang temannya menunjukkan kepada Reuters tempat Cisse tewas. Di atas pasir terlihat darah yang mengering.

Ba bingung ketika para dokter di rumah sakit itu mengungkapkan kakaknya telah meninggal dunia.

Baca juga: Kasus demam berdarah Krimea-Kongo ditemukan di Senegal

"Kami pikir tidak mungkin. Dia ditembak di lengan, bagaimana dia bisa meninggal dunia seperti itu?"

Keluarga Cisse menunggu hasil autopsi.

Ba dan Ndiaye mengatakan bahwa Cisse ditembak oleh aparat, tetapi Reuters belum bisa mengonfirmasi kebenaran klaim ini.  Juru bicara polisi dan rumah sakit tidak membalas pertanyaan Reuters.

Ba tidak seaktif kakaknya dalam berpolitik, tetapi dia Presiden Macky Sall berada di balik kerusuhan itu. Dia menilai Sall berusaha menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Banyak warga Senegal menilai Sall gagal mengurangi angka kemiskinan atau membantu generasi muda.

"Gara-gara Sall, kita seperti ini sekarang," kata Ba, yang mengaku berjuang menghadapi kesepian setelah ditinggal kakaknya.

"Kami melewati hari-hari bersama, kami menonton semua pertandingan sepak bola bersama. Mustahil melupakannya."

Baca juga: Uni Afrika adopsi peta jalan untuk akhiri konflik di Sudan

Sumber: Reuters

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2023