Jakarta (ANTARA) - Ukraina kini telah mengubah posisinya dari pihak yang diserang menjadi yang menyerang setelah mengambil posisi ofensif usai mendapatkan pasokan peralatan militer canggih dari Barat.

Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui sudah dimulainya serangan balik Ukraina itu.

"Kami bisa pastikan ofensif Ukaina ini sudah dimulai, tapi pasukan Ukraina gagal mencapai tujuannya di medan tempur apa pun," kata Putin dalam wawancara yang disiarkan dalam aplikasi pesan Telegram pada Kamis (8/6).

Lembaga think-tank Institute for the Study of War juga menyatakan hal yang sama dengan Putin.

Menurut lembaga ini, formasi tempur Ukraina berubah menjadi menyerang, baik di bagian timur termasuk di Bakhmut maupun di bagian selatan termasuk Zaporizhia.

Sejauh ini militer Ukraina enggan mengungkapkan apakah serangan balasan itu sudah dimulai atau belum.

Namun, pakar-pakar militer, termasuk blogger perang Rusia, menyatakan dalam beberapa hari terakhir terjadi pertempuran sengit di sepanjang 1.000 km garis depan perang, dari Kherson di selatan sampai perbatasan Ukraina-Rusia di timur.

Berbeda dari klaim Putin bahwa Rusia telah mematahkan serangan Ukraina, Presiden Volodymyr Zelenskyy menyatakan pasukan Ukraina mencapai kemajuan di berbagai medan perang, termasuk Bakhmut yang menjadi medan perang paling sengit sejauh ini.

"Saya senang semua orang telah memastikan kemajuan itu! Selangkah demi selangkah," kata Zelenskyy.

Ofensif balasan ini bisa berhasil, bisa juga tidak, dan kemungkinan berlangsung lama.

Namun, pesan dasar yang hendak disampaikan Ukraina adalah bahwa Rusia tak akan bisa memenangkan perang ini, bahwa invasi Rusia adalah kesalahan, bahwa Rusia tak bisa menganggap remeh Ukraina.

Ukraina juga ingin memberi pesan, adalah lebih baik bagi Rusia untuk angkat kaki dari bumi Ukraina sebelum semakin dipermalukan lagi.

Dengan menunjukkan mampu menyerang balik Rusia, Ukraina berusaha membungkam setiap prakarsa damai yang mengecualikan kedaulatan dan integritas wilayahnya, bahwa tak ada opsi damai selain mendapatkan lagi wilayah-wilayah mereka yang diduduki Rusia.

Sebaliknya, jika ofensif balasan ini gagal, maka Rusia yang sudah bersiap menghadapi serangan balasan ini, memiliki pijakan yang kian kuat untuk mencaplok Ukraina.

Yang pasti, babak baru perang yang dimulai dari invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari tahun lalu itu telah mencampakkan harapan bagi terciptanya solusi damai di sana.


Tak mau mundur

Baik Ukraina maupun Rusia sepertinya tak mau mundur dari sikapnya masing-masing.

Sebagai negara merdeka dan berdaulat, Ukraina jelas tak rela wilayahnya lepas begitu saja.

Sebaliknya, penguasa Rusia tak ingin kehilangan muka, baik di mata dunia maupun di mata rakyat mereka.

Mundur dari Ukraina sama halnya dengan menyampaikan pesan bahwa mereka tidak kompeten dan lemah yang akibatnya bisa mendelegitimasi mereka di dalam negeri Rusia.

Mundur dari Ukraina juga akan membuat sejumlah titik api di dalam wilayah Rusia di bentangan Trans Kaukasia, dan juga negara-negara yang berbatasan langsung dengan Rusia termasuk Kazakhstan, memiliki alasan kuat untuk menjaga jarak dari Rusia.

Untuk itu, Rusia akan sama habis-habisan dengan Ukraina, salah satunya dengan kerap melontarkan ancaman menggunakan senjata nuklir.

Mereka memiliki alasan untuk habis-habisan, karena secara militer, politik dan ekonomi, Rusia memang sudah berdarah-darah.

Namun begitu, Ukraina, dan sekutu-sekutunya di Barat yang aktif mengisolasi rezim Vladimir Putin dan kini aktif memasok peralatan perang tercanggih ke Ukraina, juga sudah sama babak belurnya dengan Rusia.

Intinya, kedua belah pihak sudah kadung melangkah, karena sudah terlalu banyak energi dan dana yang sudah dikerahkan.

Selain itu, bagi Amerika Serikat dan NATO, Ukraina adalah pertaruhan besar.

Jika Ukraina kalah, maka seluruh benua bakal melihat NATO sebagai platform keamanan yang tidak kompeten dan lemah.

Memiliki tanah seluas 603 km persegi, Ukraina adalah negara dengan luas wilayah kedua terbesar di Eropa setelah Rusia.

Ukraina juga memiliki penduduk yang terbilang banyak untuk ukuran Eropa, sebanyak 43 juta jiwa. Dengan jumlah sebanyak ini, Ukraina menduduki urutan ketujuh di bawah Rusia, Turki, Jerman, Inggris, Italia, dan Spanyol.

Dengan wilayah seluas dan penduduk sebanyak itu, Ukraina jauh lebih besar dari pada Georgia yang juga bekas Uni Soviet dan pernah diinvasi Rusia pada 2008 sampai kehilangan dua wilayahnya yang berbatasan dengan Rusia.

Wilayah dan jumlah penduduk Georgia hanya sepersepuluh Ukraina.


Realitas pahit

Rusia menginvasi Georgia dengan alasan melindungi kaum minoritas di Abkhazia dan Osssetia Selatan, tapi alasan utamanya adalah karena Georgia berusaha menjadi anggota NATO. Alasan ini juga yang digunakan terhadap Ukraina 14 tahun kemudian.

Dalam kasus Perang Georgia-Rusia pada 2008 itu, Barat tak bisa berbuat apa-apa, karena letak geografis negara ini yang jauh dari daratan Eropa. Satu-satunya negara NATO yang berbatasan dengan Georgia adalah Turki.

Mungkin juga Barat melihat Georgia terlalu kecil untuk mereka perhatikan.

Sebaliknya, Ukraina tak bisa dipandang seperti itu. Negeri ini berbatasan langsung dengan banyak negara Eropa yang selain anggota NATO juga anggota Uni Eropa.

Penduduk dan wilayah Ukraina yang begitu besar, membuat Barat sudah tak bisa lagi diam.

Mereka mungkin berpikir jika terhadap negara sebesar Ukraina saja berani, apa lagi terhadap negara-negara lebih kecil termasuk tiga negara Baltik yang berbatasan dengan Ukraina dan juga Rusia.

Untuk itu, jebolnya Ukraina akan menjadi pesan yang buruk bagi Eropa. Bahkan negara-negara yang dulunya netral seperti Finlandia dan Swedia pun, turut terancam untuk kemudian melanggar tabu dengan melamar masuk dalam payung keamanan NATO.

Finlandia sudah menjadi anggota NATO, sedangkan Swedia dalam perjalanan menuju ke sana.

Dengan fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, menciptakan solusi damai di Ukraina adalah tantangan yang luar biasa sulit sehingga mesti dipertimbangkan matang-matang.

Selain itu, setiap prakarsa damai tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan selain Rusia dan Ukraina, adalah tidak tepat, karena konflik ini sudah menyeret banyak pihak, khususnya Barat.

Salah satu faktor kegagalan prakarsa-prakarsa damai yang diajukan pihak-pihak seperti PBB, Turki, India, dan China, adalah meniadakan pertimbangan-pertimbangan itu, seolah konflik di Ukraina tentang perebutan wilayah semata.

Lebih dari itu, proposal damai selama ini kerap mengesampingkan fakta bahwa suka atau tidak suka Rusia adalah pihak agresor, yang ditegaskan dalam resolusi PBB yang memerintahkan Rusia menarik pasukannya dari Ukraina.

Bagi Ukraina sendiri, perang ini jelas perang tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Mereka mungkin mau menerima prakarsa damai, tapi mustahil mau merelakan wilayah kedaulatannya.

Sebaliknya bagi Rusia yang dianggap oleh sejumlah negara sebagai kekuatan yang bisa mengimbangi Barat, perang ini adalah pertaruhan yang menentukan kelangsungan rezim dan bahkan masa depan Rusia, setidaknya menurut pandangan Putin.

Dari apa yang terlihat saat ini, baik Ukraina maupun Rusia, sudah seperti pihak-pihak yang memainkan "zero sum game", bahwa kemenangan salah satu pihak adalah sama dengan kekalahan yang dialami lawannya. Dalam kata lain, mereka hanya mengenal pilihan, menang atau kalah.

Dengan semua hal ini, mungkin tak ada jalan selain membiarkan kedua belah pihak kelelahan berperang untuk kemudian mengakhiri konflik seperti terjadi dalam Perang Iran-Irak pada 1980-1988.

Ini memang kejam dan menyakitkan, tapi faktanya pihak-pihak yang berkonflik di Ukraina memang hanya menginginkan siapa yang harus kalah dan siapa yang harus menang. Inilah realitas pahit yang terlihat saat ini.

Copyright © ANTARA 2023