Pelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 mengambil arah baru: bahasa dipelajari sebagai alat penyampai ilmu. Sebelumnya, bahasa Indonesia dipelajari sebagai ilmu mengenai kebahasaan. Apa untung ruginya?

Para penyusun Kurikulum 2013 tentu berkepentingan dengan keuntungan arah baru itu. Inilah yang menguntungkan dengan pengajaran tentang bahasa sebagai alat penyampai ilmu. Dengan mempelajari bahasa sebagai sarana berpikir, penyampai pesan dan pikiran, siswa dibiasakan menggunakan bahasa untuk mengungkapkan pikiran lewat tulisan maupun lisan.

Adapun kelemahan arah baru pengajaran bahasa Indonesia adalah: aspek kemampuan linguistik siswa tak tergali secara optimal.

Terlepas dari untung-rugi arah pengajaran bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013 itu, ada soal lain yang lebih fundamental: bahan ajar dan kemampuan guru dalam menyampaikan pelajaran bahasa Indonesia.

Buku atau bahan ajar tertulis di Indoesia umumnya dihasilkan oleh penyusun yang tidak kompeten menulis teks yang memukau. Sering kali, sejumlah guru mengerjakan pembuatan buku teks pelajaran lalu dinilai oleh tim penilai dari kementerian dan setelah mendapat persetujuan sang penilai lalu penerbit menggandakannya.

Hampir tak pernah seorang penulis profesional, entah novelis atau penulis nonfiksi masyhur, dikontrak kementerian untuk kepentingan menghasilkan buku teks yang berkualitas. Alhasil, buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia tidak memberikan kesan yang membekas di benak siswa. Semua teks bahasa Indonesia yang dipelajari siswa menguap begitu saja, tidak meninggalkan jejak setelah siswa mengakhiri pelajaran yang tersaji oleh teks itu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mencoba menyewa penulis-penulis masyhur, yang kompetensinya sudah teruji di masyarakat, untuk menulis buku teks pelajaran bahasa Indonesia.

Buku hasil karya profesional inilah yang perlu dijadikan pegangan dasar untuk siswa dalam belajar. Metode ini tentu punya lobang untuk dikritik: sentralisme. Sekarang ini, semua yang bersifat sentralistik selalu dianggap buruk. Sentralisme dianggap pembunuh keragaman. Kritik ini tentu tak sepenuhnya benar. Untuk buku-buku pegangan dasar perlu keseragaman. Kualitas yang seragam tidak mesti buruk.

Setelah buku-buku pegangan dasar yang berkualitas tersedia, persoalan berikut adalah: sejauhmana guru-guru dapat menyampaikannya secara mengesankan di hadapan siswa. Guru haruslah inspiratif buat siswa. Guru yang diperlukan bukan yang berpengetahuan komplit dan terlalu banyak omong di depan siswa dengan gairah memamerkan pengetahuan yang tak selalu dibutuhkan siswa.

Guru yang brilian adalah yang membuka jalan dan perspektif siswa untuk mencari sendiri lebih jauh. Guru seperti ini memberi arah seperlunya lalu menyuruh siswa berjalan sendiri dan mengarahkan kembali jika dianggap menyimpang dari arah yang dituju.

Tantangan terberat untuk penerapan Kurikulum 2013 dalam pelajaran bahasa Indonesia akan dialami oleh guru-guru bahasa Indonesia yang selama ini terbiasa menggunakan cara-cara lama, yang terlampau analitik sementara kurikulum baru lebih menuntut lebih interatif. Perlu ada lokakarya untuk melatih mereka mengajarkan bahasa Indonesia sesuai dengan tuntutan kurikulum baru.

Arah Kurikulum 2013 merupakan penafikan atas kurikulum pendidikan bahasa yang cenderung mengajak siswa menjadi linguis-linguis sebelum waktunya.

Dikonfrontasikan dengan fakta lapangan, arah Kurikulum 2013 untuk pelajaran bahasa Indonesia tidak perlu menimbulkan kekhawatiran. Ambil contoh di kalangan pengguna bahasa media massa. Di ranah ini, mereka yang bertungkus rumus dan memahami a-z bahasa jurnalistik tidak mesti mereka yang pernah berjibaku dengan teori-teori linguistik saat menempuh pendidikan formal di perguruan tinggi.

Ahli-ahli bahasa jurnalistik bisa datang dari lulusan ilmu fisika murni, ilmu politik, atau mereka yang tak pernah kuliah di perguruan tinggi. Minat pada segi kebahasaan dalam jurnlisme terbangun setelah mereka bergulat dalam praktik kewartawanan selama belasan tahun.

Atas dasar fakta inilah, arah baru pelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Ada suara kekhawatiran bahwa arah baru itu tidak lagi membangun nilai-nilai kebangsaan, identitas, kebahasaan dan aspek-aspek lain yang terkait dengan kecerdasan linguistik seorang siswa.

Suara kekhawatiran ini bisa didengar tapi tak harus menghentikan aneka keuntungan yang bisa diraih berupa kemahiran cara berpikir, menulis maupun mencerna teks secara benar.

Sesungguhnya, terbangunnya nilai-nilai kebangsaan, identitas dan kebahasaan seseorang tidak sepenuhnya tergantung pada bagaimana sistem pengajaran bahasa Indonesia disampaikan saat siswa masih dalam usia formatif. Nilai-nilai itu terbangun secara sistemik lewat pengajaran mata pelajaran lain, pergaulan antarmanusia baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

(M020/Z002)

Oleh M.Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013