Pembatasan dinasti politik ini juga tidak akan melanggar hak asasi manusia
Jakarta  (ANTARA News) - DPR dan pemerintah sepakat untuk membatasi dinasti politik para kepala daerah yang nantinya akan dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), dimana calon kepala daerah tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah, kecuali ada jarak waktu minimal satu masa jabatan.

Dalam keterangan pers Humas DPR, di Jakarta, Jum`at, Wakil Ketua Komisi II DPR Hakam Naja mengungkapkan bahwa DPR dan pemerintah sepakat untuk pembatasan dinasti politik saat rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang diwakili oleh Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Djohermansyah Johan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/2).

Hakam Naja memberi contoh, seperti setelah suami tidak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, maka anak, istri, atau saudara tidak boleh ikut mencalonkan diri. Akan diatur, minimal ada jeda satu periode. Seluruh fraksi setuju dengan usulan pemerintah itu, ujarnya.

Pembatasan dinasti politik ini juga tidak akan melanggar hak asasi manusia. Menurut Hakam Naja, dalam konstitusi dikatakan bahwa hak asasi manusia juga tidak boleh melanggar kepentingan umum. Meski demikian, mekanisme soal ini tetap akan disempurnakan dalam RUU. Hakam juga sudah siap bila pasal soal dinasti politik ini nantinya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Keprihatinan dinasti politik makin menguat setelah di beberapa daerah jabatan kepala daerah yang sebelumnya dijabat ayah atau suami, diteruskan oleh anak atau istrinya.

Sementara itu Dirjen Otda Djohermansyah Johan yang hadir dalam pembahasan RUU Pilkada menilai politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah saat ini sudah tidak sehat.

Saat ini, kata dia, ada 30 kepala daerah yang memiliki hubungan saudara dalam satu daerah. "Ada anak, istri, ipar dan menantu yang dimunculkan tapi tidak punya record dalam pemerintahan dan politik," kata Djohermansyah.

Menurut Djohermansyah, para kandidat yang memiliki hubungan keluarga atau saudara itu punya kecenderungan untuk menang karena didukung oleh petahana. "Dari sirkulasi politik juga sudah tidak sehat. Malah melanggar hak asasi manusia, karena tidak memberi kesempatan kepada orang lain," katanya.

Karena itu, bila tidak dibatasi, politik dinasti akan terus dilanggengkan. Apalagi pada 2013 ada 152 pilkada yang akan digelar. Karena itu, pemerintah mengusulkan agar ada syarat terkait pencalonan. "Tidak punya ikatan perkawinan untuk garis ke atas dan ke bawah, juga ke samping kecuali ada jeda satu periode," ujarnya.

Sementara itu dalam rapat pembahasan RUU Pilkada, sebagian anggota Panja RUU Pilkada, meminta kepada Kemendagri untuk mengkaji dampak kerusakan politik dinasti dalam pilkada. "Harus dikaji seberapa jauh kerusakannya. Kalau saya 95 persen memberi toleransi. Tapi kalau ada tren kerusakan, kita sikat saja," kata Wakil Ketua Komisi II dari FPDIP Ganjar Pranowo.

Anggota Panja RUU Pilkada dari FPDIP Eddy Mihati mengatakan bila argumentasinya karena hubungan sedarah, hal itu rentan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan bisa dikalahkan. Karena itu, Eddy meminta agar ada alasan yang lebih kuat.

Hal senada juga disampaikan Agus Poernomo dari FPKS. "Jadi kita ingin memberi maslahat, tapi tetap membatasi (dinasti politik)," kata Agus.

Karena itu, Agus mengusulkan ada pendidikan lagi, bukan hanya dari politik tapi juga pendidikan di Lemhannas. Karena pendidikan Lemhannas sangat baik dari sisi kepemimpinan.

Sementara anggota Panja RUU Pilkada dari FPAN Herman Kadir keberatan dengan pembatasan dinasti politik karena punya celah untuk digugat. "Hak politik itu tidak boleh dilarang. Apalagi pengkaderan itu terkadang dilakukan oleh keluarga sendiri. Kadang trah dalam keluarga itu masih dihargai. Misalnya keturunan Soekarno anaknya jadi ketua partai. Atau Hamengku Buwono kalau memang ada pemilihan lagi, bisa juga," ujarnya.

Namun, pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro yang hadir dalam pembahasan RUU Pilkada itu mengatakan kerusakan akibat politik dinasti sudah terjadi. Politik kekerabatan ini akan mencederai demokrasi kita. Sebab aktor hanya itu-itu saja, katanya.

Sementara demokrasi yang ingin dibangun, lanjut Siti Zuhro, adalah yang membuka akses terhadap semua warga negara. Politik kekerabatan sangat elitis.

Menurut Siti Zuhro, kerusakan lain adalah birokrasi patronase, sehingga tidak menghasilkan birokrasi yang bersih dan sehat. Karena itu, dalam RUU Pilkada harus dipikirkan untuk jangka panjang bukan hanya untuk 2013 atau 2014. Sebab politik kekerabatan akan mempengaruhi kualitas Pemda. Politik kekerabatan dalam Pilkada saat ini sudah tidak sehat, karena dalam satu provinsi bisa sampai lima anggota keluarga yang memegang jabatan publik, tambah dia.

Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2013