"Konflik gajah terjadi karena adanya pembukaan kawasan hutan pada wilayah KBNK..."
Jakarta (ANTARA News) - Konflik yang terjadi antara gajah dan manusia di Kalimantan terjadi sejak 2003 saat Kawasan Budidaya Non-Kawasan (KBNK) menjadi perkebunan kelapa sawit, demikian termuan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.

"Konflik gajah terjadi karena adanya pembukaan kawasan hutan pada wilayah KBNK yang dijadikan usaha perkebunan kelapa sawit. Pembukaan tersebut terjadi sekitar 2003 hingga 2004," kata Human-Elephant Conflict Mitigation Officer untuk WWF Indonesia Program Kalimantan Timur, Agus Suyitno, kepada ANTARA News di Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan, wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi KBNK tersebut dulunya juga menjadi bagian dari habitat gajah kerdil di Kalimantan.

Luas dari habitat gajah di Kalimantan, menurut dia, awalnya mencapai sekitar 92.000 hektare (ha), namun kini habitat utamanya hanya berada di Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).

Pembukaan wilayah KBNK, menurut Agus, telah berdampak pada berkurangnya habitat gajah lantaran sumber pakan terbatas, sehingga gajah kerap datang ke wilayah pemukiman masyarakat dan perusahaan kelapa sawit yang menjadi sumber pemicu utama konfliknya.

Pemantauan WWF pada 2002 hingga 2007 tercatat, sekira 16.000 tanaman sawit milik masyarakat dan perusahaan perkebunan rusak dimakan gajah.

Adapun hasil pemantauan WWF pada 2005 hingga 2009 terdapat 11 desa dan dua perusahaan kelapa sawit yang rawan terkena serangan gajah.

Untuk mengatasi konflik antara gajah dengan manusia, khususnya di wilayah Nunukan, Kalimantan Timur, WWF Indonesia bersama dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, masyarakat, serta perusahaan konsesi yang berada di wilayah habitat gajah membentuk satuan tugas (satgas) penanganan konflik gajah yang anggotanya dari masyarakat sekitar.

"Jadi, mereka dilatih dan diberikan beberapa fasilitas atau alat untuk melakukan penanganan konflik. Sejauh ini, konflik gajah sudah mulai berkurang dengan adanya satgas tersebut," katanya.

Berdasarkan hasil uji zat pembangun tubuh (Deoxyribonucleic acid/DNA) pada tahun 2003 oleh peneliti Universitas Colombia, Amerika Serikat (AS), diketahui bahwa gajah kerdil di Kalimantan merupakan subspesies terpisah dari gajah di Sumatra dan daratan Asia lainnya.

Ukuran tubuhnya relatif lebih kecil dibanding dengan gajah lain.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengklarifikasi satwa yang memiliki nama latin Elephas maximus borneensis itu dalam kategori terancam.

Akhir Januari 2013, sejumlah media massa di Malaysia dan Indonesia memberitakan 10 gajah yang memiliki habitat di jantung hutan Kalimantan ditemukan mati di Hutan Gunung Rara yang berjarak 130 kilometer dari Tawau, Sabah, Malaysia.

WWF mencatat total populasi gajah kerdil di seluruh habitat di Kalimantan mencapai 1.500 satwa, namun di wilayah Indonesia diperkirakan hanya tersisa 20 hingga 80 gajah yang mayoritas berada di Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). (*)

Pewarta: Virna P. Setyorini
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013