Bisa saja kami lakukan cepat, misalnya sekali celup dengan komposisi warna yang pekat sehingga langsung jadi. Warnanya bagus juga, tetapi tidak lama warnanya akan pudar. Ya, sifat pewarna alami begitu."
Semarang (ANTARA News) - Batik berpewarna tanaman alami yang nilai jualnya sangat tinggi cenderung diminati konsumen asing, kata perajin batik asal Kabupaten Semarang, Abdul Kholik Fauzi.

"Memang proses pewarnaannya lebih lama dibandingkan dengan pewarna sintetis. Tetapi, nilai jual batik berpewarna alami jauh lebih tinggi," kata pemilik Batik Gemawang "Nyi Ageng Pandanaran" itu, di Semarang, Senin.

Ia menjelaskan proses pewarnaan batik menggunakan produk sintetis paling hanya membutuhkan waktu selama satu hari, sementara pewarnaan menggunakan pewarna alami bisa memakan waktu sampai dua minggu.

Menurut dia, proses pewarnaan dengan produk alami memang membutuhkan waktu yang lebih lama karena harus berkali-kali diulang agar menghasilkan warna yang optimal, dengan daya tahan warna yang maksimal.

"Bisa saja kami lakukan cepat, misalnya sekali celup dengan komposisi warna yang pekat sehingga langsung jadi. Warnanya bagus juga, tetapi tidak lama warnanya akan pudar. Ya, sifat pewarna alami begitu," katanya.

Fauzi yang membuka usahanya di kawasan Gemawang, Kabupaten Semarang itu mengaku konsumen batik berpewarna alami selama ini kebanyakan orang asing karena mereka lebih menyukai sesuatu yang sifatnya alami.

"Dulu saya sempat ekspor ke Eropa, pasar batik berpewarna alami di sana sangat bagus sebelum ada krisis. Kini, saya lebih mengandalkan turis-turis asing yang datang. Permintaan ternyata banyak juga," katanya.

Dengan pewarna alami yang membutuhkan proses lebih rumit, kata dia, produk batik itu bisa dijual dengan harga minimal Rp500 ribu, bahkan bisa sampai di atas satu juta rupiah untuk setiap lembar kainnya.

Padahal, kata alumnus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip itu, batik dengan pewarna sintetis hanya dijualnya di kisaran harga Rp130 ribu/lembar, bergantung proses pembuatannya secara tulis atau cap.

"Kini saya tengah melirik pewarna alami dari limbah mangrove (bakau). Warna yang dihasilkan lebih unik dengan kecenderungan cokelat, berbeda dengan pewarna alami dari tanaman-tanaman lainnya," katanya.

Meski pasar batik berpewarna alami di luar negeri cukup besar, ia mengakui masyarakat luar negeri cukup selektif dalam memilih produk yang dibelinya, terutama proses pembuatan pewarna dari bahan alami itu.

"Misalnya, batik berpewarna alami. Konsumen luar negeri pasti bertanya dari mana pewarna alami itu dibuat? Dari tanaman hidup atau limbah, dan sebagainya. Mereka pastikan bukan hasil dari pengrusakan alam," katanya.

Karena itu, Fauzi menggandeng petani mangrove, salah satunya di kawasan Mangunharjo Semarang untuk menyuplai limbah tanaman bakau sebagai bahan pewarna batik untuk menegaskan bahwa produknya ramah lingkungan.  (ZLS/I007)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013