Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus korupsi pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) 2008 Neneng Sri Wahyuni diwajibkan untuk membayar uang pengganti Rp800 juta.

Selain itu Neneng juga harus menjalani pidana penjara 6 tahun dan membayar denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan, kata Ketua Majelis Hakim Tati Hadiyanti di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp800 juta selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dan bila lewat waktu tidak membayar uang pengganti, harta kekayaan disita dan dilelang untuk membayar atau akan dipidana selama 1 tahun," katanya.

Hakim memvonis Neneng dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara.

Putusan tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa KPK yang meminta Neneng dihukum 7 tahun dan denda Rp200 juta subsider pidana kurungan 6 bulan dan membayar uang pengganti senilai Rp2,66 miliar.

"Terdakwa telah memperkaya diri sendiri Rp800 juta, jadi uang tersebut adalah uang pengganti yang harus dibebankan kepada terdakwa," kata anggota majelis hakim Hugo.

Nilai kontrak seluruhnya pengadaan PLTS adalah mencapai lebih dari Rp8 miliar yang berasal dari anggaran Depnakertrans dan dibayar kepada PT Alfindo Nuratama Perkasa, namun pekerjaan kemudian diserahkan kepada PT Sundaya Indonesia dengan nilai kontrak hanya Rp5,27 miliar.

PT Alfindo adalah perusahaan yang dipinjam benderanya oleh perusahaan milik Nazaruddin, PT Anugerah Nusantara untuk mengerjakan proyek PLTS.

"Dari pembayaran tersebut dicairkan Rp800 juta oleh Ivan atas perintah terdakwa dan dipindahkan ke rekening Neneng, sedangkan selisihnya dibagikan ke berbagai rekening yaitu panitia pengadaan maupun pejabat pembuat komitmen, dengan demikian pembayaran ke PT Alfindo setelah sisa pembayaran Rp2 miliar adalah Rp1,4 miliar yang merupakan keuntungan PT Anugerah Nusantara," jelas hakim.

Rinciannya Rp5,27 miliar diberikan untuk pembayaran PT Sundaya sedangkan sisanya dibagi-bagikan kepada kepada Arifin Ahmad sebesar Rp40 juta selaku direktur PT Alfindo, Timas Ginting (Rp77 juta dan 2 ribu dolar AS), pejabat Kemenakertrans Hardy Benry Simbolon (Rp5 juta dan 10 ribu dolar AS), ketua panitia pengadaan PLTS Sigit Mustofa Nurudin (Rp10 juta dan seribu dolar AS), anggota panitia pengadaan Agus Suwahyono (Rp2,5 juta dan 3.500 dolar AS), anggota panitia pengadaan Sunarko (Rp2,5 juta dan 3.500 dolar AS) dan Direktur PT Nuratindo Bangun Perkasa (Rp2,5 juta).

"Dari jumlah pengadaan dan pemasangan PLTS telah memperkaya terdakwa Rp800 juta, dan memperkara saksi, orang lain dan korporasi," jelas hakim.

Hal yang memberatkan Neneng menurut hakim adalah kontraproduktif dengan program pemberantasan korupsi, mengabaikan panggilan penyidik KPK serta tidak segera menyerahkan diri saat mengetahui dirinya masuk daftar pencarian orang.

"Hal yang meringankan adalah terdakwa masih memiliki anak kecil dan belum pernah dihukum," ungkap Tati.

Namun karena putusan tersebut dibacakan tanpa dihadiri oleh Neneng dan tim pengacaranya (in absentia) maka hakim memerintahkan agar putusan diumumkan di kantor pemerintahan.

"Karena pada pengucapan putusan dibacakan tanpa dihadiri terdakwa dan penasihat hukumnya maka berdasarkan pasal 38 ayat 3 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka majelis hakim memerintahkan pada penuntut hukum untuk mengumumkan putusan di pengadilan, kantor pemerintah daerah dan diberitahukan kepada kuasa hukum terdakwa," kata Tati.

Neneng dan tim pengacaranya diberi kesempatan untuk menerima, mengajukan banding atau pikir-pikir sejak Neneng menerima isi putusan tersebut.

Atas putusan itu, jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013