Mataram (ANTARA News) - Aksi demonstrasi sekelompok mahasiswa di depan kantor Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, Rabu siang, diwarnai kericuhan.

Pengunjukrasa yang berjumlah belasan orang itu nekad mamanjat pintu gerbang kantor kejaksaan sambil meneriakkan kecaman terhadap aparat kejaksaan.

Sejumlah aparat kejaksaan pun terpancing emosi dan mendekati pengunjuk rasa hingga terjadi aksi saling dorong.

Ketegangan terjadi ketika kelompok pengunjuk rasa terus berorasi mengecam sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menurut mereka, terlalu memaksakan diri menindaklanjuti berkas perkara dengan tersangka seorang ibu rumah tangga itu.

Saling dorong dan saling kejar pun terjadi. Aparat kepolisian berupaya melerai mereka.

Unjuk rasa mengencam kriminalisasi perempuan yang diwarnai kericuhan itu merupakan yang kedua, setelah peristiwa pertama pada 11 Maret 2013.

Para pengunjukrasa yang dikoordinir Firmansyah selaku dari Gerakan Peduli Perempuan tersebut memprotes menanganan kasus yang menimpa Hj Tina Supiati (44).

Tina Supiati yang menggugat cerai suaminya justru dilaporkan telah menggunakan buku nikah palsu. Tina menggugat cerai suaminya, H Sudaryanto (44), karena mengaku sudah lama ditinggalkan suaminya.

"Kami minta Tina dibebaskan dari tuduhan menggunakan buku nikah palsu, karena buku nikah itu diterbitkan oleh lembaga negara yakni KUA. Jangan melakukan penyidikan karena tujuan tertentu," ujar Firmansyah.

Wanita beranak dua itu mengadu ke Komisi Bidang Politik dan Pemerintahan DPRD Provinsi NTB karena merasa dikriminalisasi suaminya, H Sudaryanto.

"Saya dilaporkan menggunakan buku nikah palsu saat menggugat cerai, padahal buku nikah itu diterbitkan oleh KUA Ampanen, dan semuanya diurus suami saya," ujarnya.

Tina mengaku mengadukan hal itu ke DPRD NTB guna mencari keadilan, karena merasa dikriminalisasi suaminya yang menggunakan jasa penasehat hukum.

Wanita itu menuturkan, ia menikah dengan Sudaryanto dengan status pernikahan siri (dibawah tangan) di Lumajang, Jawa Timur, tahun 1992, kemudian pindah ke Mataram, NTB, hingga hidup berumah tangga secara damai dengan suaminya.

Versi wanita itu, mereka kemudian mendaftarkan pernikahan di Lumajang itu ke KUA Ampenan, dan setelah melewati serangkaian proses, akhirnya mengantongi buku nikah.

Kendati demikian, hanya beberapa jam setelah mengadu ke DPRD NTB, Tina kembali dijemput aparat kepolisian Polda NTB dan dibawa ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, untuk kepentingan pelimpahan berkas perkara, barang bukti dan tersangka.

Bahkan, Tina langsung dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram, dengan jeratan pasal 264 ayat 2 KUHP untuk dakwaan primer dengan ancaman hukuman delapan tahun penjara, dan pasal 266 ayat 2 KUHP untuk dakwaan subsidier dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara, serta pasal 263 ayat 2 KUHP untuk dakwaan lebih-lebih subsidier dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

Pewarta: Anwar Maga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013