Inisiatif pemasukan masalah praktik kejahatan santet ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) saya kira sangat relevan, melihat kenyataan emperik bahwa konteks masyarakat kita saat ini memang banyak yang menyalahgunakan kekuatan gaib untuk kejahatan mi
Yogyakarta (ANTARA News) - Pengaturan masalah kejahatan santet kedalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana sangat relevan untuk memberantas beragam tindak kejahatan di Indonesia, kata Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Mudzakir.

"Inisiatif pemasukan masalah praktik kejahatan santet ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) saya kira sangat relevan, melihat kenyataan emperik bahwa konteks masyarakat kita saat ini memang banyak yang menyalahgunakan kekuatan gaib untuk kejahatan misalnya santet," katanya di Yogyakarta, Senin.

Menurut Mudzakir, pasal santet diperlukan agar tidak ada lagi rasa aman bagi masyarakat yang merasa memiliki kekuatan gaib untuk kemudian mencelakakan orang lain.

"Salah kalau ada yang menyatakan pasal tersebut tidak masuk akal, karena memang nyatanya banyak yang melakukannya meski secara proses tidak bisa dibuktikan dengan barang bukti di pengadilan," katanya.

Hanya saja, kata dia, memang perbuatan santet tidak bisa dibuktikan dengan barang bukti karena belum ada studi ilmiah yang bisa membuktikan hubungan kausalitas parkatik santet dengan korban santet.

"Perbuatan santet memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, namun yang diatur dalam RUU adalah perbuatan yang mendahului kontrak atau rencananya bukan perbuatan santet itu sendiri," katanya.

Namun demikian, menurut dia, pasal tersebut saat ini penting untuk mendidik masyarakat Indonesia di masa yang akan datang agar tidak lagi menggunakan cara-cara irasional untuk menghadapi seseorang.

Sebelumnya, masalah santet diatur dalam pasal 293 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan dan memberitahukan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya itu dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang maka dapat dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp300 juta. 

(KR-LQH/R010)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013