Pekanbaru (ANTARA News) - PT Riau Petroleum, sebuah perusahaan daerah yang nyaris tak dikenal, mendadak jadi pusat perhatian karena mencoba bersaing "merebut" pengelolaan Blok Siak dari Chevron Pacific Indonesia di provinsi Riau.

Persaingan mereka ibarat gajah melawan pelanduk atau kancil, karena Riau Petroleum (RP) hanya BUMD kecil yang minim modal. Di sisi lain, Chevron terkenal sebagai perusahaan multinasional yang didukung kapital besar dan punya pengalaman panjang di bisnis perminyakan.

Pertanyaannya, mengapa pelanduk begitu yakin bisa menyangingi si gajah bongsor? Atau jangan-jangan, pelanduk sebenarnya juga seekor gajah yang menyamar di badan kecil.

Sepak terjang RP belum banyak diketahui oleh publik meski sudah berdiri sejak tahun 2001. Kepemilikan mayoritas saham BUMD ini dipegang oleh Pemprov Riau sebesar 95 persen.

Meski RP dibentuk dengan spesialisasi bisnis minyak dan gas (migas), namun selama ini perusahaan itu belum pernah mencicipi bisnis sektor hulu yang padat modal dan penuh dengan ketidakpastian. Bahkan, RP juga sempat "mati suri" pada tahun 2010 karena kekosongan pejabat di tingkat direksi.

Masalah pergantian pejabat yang berlarut-larut itu akhirnya kelar setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada akhir tahun 2011. Dan direksi yang baru berumur satu tahun lebih sedikit itu pun berani melakukan gebrakan sensasional dengan mengusulkan untuk mengelola minyak Blok Siak.



Surat Penunjukan

Tanpa diketahui publik, RP pada akhir tahun 2012 sudah memasukkan permohonan ke Kementerian ESDM untuk dapat mengelola Blok Siak yang kontraknya akan habis dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada November 2013. Bahkan, direksi RP mengklaim sudah mendapat restu dari Pemprov Riau untuk memuluskan usulannya.

Anehnya, Gubernur Riau HM Rusli Zainal memilih tidak mau banyak berkomentar mengenai hal itu.

"Blok Siak itu kan masih dalam proses, jangan dibahas dululah," kata Rusli di Pekanbaru, Senin lalu (25/3).

Rusli terkesan ingin menutupi proses pengusulan tersebut, namun Direktur Operasional RP Ahmad Kurnain secara blak-blakan mengungkapkan bahwa dukungan Pemprov Riau sangat besar yang dibuktikan dengan adanya surat penunjukan yang ditandatangani langsung oleh Rusli Zainal pada Juni 2012.

"Intinya isi surat itu provinsi berminat untuk kelola Blok Siak dengan menunjuk BUMD Riau Petroleum," kata Ahmad Kurnain, Selasa (26/3).

Dengan berbekal surat penunjukan itulah, Ahmad Kurnain mengatakan RP dengan cepat langsung melakukan pengajuan ke Kementerian ESDM bahkan sampai ke Komisi VII DPR RI.

"Kami juga sudah mendapat surat balasan dari Dirjen Migas, yang waktu itu masih dijabat Ibu Evita Legowo, ditujukan untuk gubernur agar disarankan mengikuti aturan yang ada," katanya.

Mengenai surat penunjukan itu diperkuat oleh Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau Husni Thamrin yang menilai kesempatan daerah untuk mendapatkan izin pengelolaan Blok Siak terbuka lebar. Sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, lanjutnya, setiap BUMD memiliki peluang yang sama untuk dapat mengelola blok migas.

Ia mengaku optimistis BUMD Riau memiliki kompetensi untuk mengelola blok minyak karena pengajuan ini bukan pertama kali dilakukan di Riau. Sebelumnya sudah ada PT SPR yang mengelola Blok Langgak sejak 2010, dan PT Bumi Siak Pusako (BSP) di CPP Blok sejak 2002. Dua blok minyak itu dulu juga dikelola oleh Chevron sebelum kontraknya habis.

"BUMD peluangnya sama untuk dapat mengelola blok minyak, bahkan resiko untuk Riau Petroleum tidak terlalu besar karena hanya tinggal meneruskan saja dari operator yang lama," katanya.



Pemodal Besar

Direktur Operasional RP Ahmad Kurnain mengatakan, ketertarikan perusahaan terhadap Blok Siak muncul karena ketika kontrak Chevron habis, maka ada peluang pengelolaan selanjutnya akan berpindah ke tangan-tangan putra daerah di Riau.

"Ketertarikannya karena Blok Siak terkait hajat hidup kita," ujarnya.

Namun, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa kuat modal investasi yang dimiliki oleh RP? Hal itu wajar untuk diketahui oleh publik karena sejauh ini dalam APBD Riau 2013 tidak menganggarkan penyertaan modal untuk rencana bisnis besar itu.

Ditambah dengan pernyataan Gubernur Rusli Zainal yang sangat normatif, mendadak muncul tanda tanya apakah dengan sebuah surat penunjukan dan semangat kedaerah sudah cukup bisa meyakinkan bahwa RP bisa mengelola sebuah blok minyak.

Sebabnya, secara kasat mata kondisi RP yang minim modal juga bisa dilihat dari kondisi kantornya. Perusahaan itu selama setahun terakhir hanya mampu menyewa tempat di sebuah hotel berbintang di Pekanbaru untuk operasionalnya. Kantor mungil itu terlihat hanya terdiri dari satu ruang untuk direktur, ruang rapat dan ruang penerima tamu.

Ahmad Kurnain mengakui kondisi tersebut sembari mengatakan APBD untuk menyokong bisnis RP terakhir didapatkan pada 2012 sebesar Rp200 miliar. Sementara di sisi lain, ia mengatakan kebutuhan dana investasi agar bisa disetujui pemerintah untuk mengelola Blok Siak diperkirakan mencapai 100 juta dolar AS untuk menyokong operasional selama 3-5 tahun pertama.

"Untuk investasi ini (Blok Siak), dana dari kita sendiri masih zero (nihil)," ujar Ahmad Kurnain.

Namun, ia mengatakan RP bukan tanpa siasat untuk mengatasi kendala permodalan. Bagi Ahmad Kurnain, ruang rapat kecil di hotel berbintang itu menjadi saksi bisu sebuah kesepakatan bisnis untuk mewujudkan perjuangan RP mendapatkan izin Blok Siak. Pada tanggal 7 Maret lalu, Direktur RP Herianto menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT Ekamaro Sakti tepat pukul 20.47 WIB.

Ekamaro Sakti yang berdiri sejak 1986 diketahui sebagai perusahaan di bidang energi, khususnya pada pengelolaan sumur tua.

"Perusahaan itu sukses mengelola bisnis minyak di Jawa dan sekarang mencoba ke Riau," kata Ahmad Kurnain.

Namun, yang menarik dari kesepakatan bisnis pada malam itu adalah kehadiran dua petinggi dari United Overseas Bank Limited (UOB) langsung dari Singapura. Ahmad Kurnain mengatakan seorang pentolan UOB itu disapa Mr. Lee, seorang pria berperawakan kecil dan berkacamata yang bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia.

Menurut dia, UOB berada di belakang Ekamaro Sakti dan siap mendanai semua keperluan investasi untuk mendapatkan Blok Siak.

"Yang paling penting adalah finansial kan," katanya.

Ia mengatakan tidak mungkin RP hanya mengandalkan APBD untuk mengelola blok minyak. Bahkan, ia berani sesumbar bahwa tidak akan menggunakan dana APBD untuk rencana bisnis itu.

"APBD hanya untuk rutinitas operasional, seperti gaji pegawai saja," katanya.

Rencana bisnis kedepan, lanjutnya, RP bersama Ekamaro dengan dukungan dana UOB akan membentuk sebuah entitas baru, yakni sebuah konsorsium untuk menangani kegiatan hulu migas. Rencananya, dalam konsorsium itu RP menjadi pemegang saham mayoritas sebanyak 51 persen, meski tanpa mengeluakan dana investasi.

"Riau Petroleum tidak punya banyak aset yang dipertaruhkan, hanya goodwill (itikad baik) kita dan peluang yang tidak semua memilikinya," katanya.

Dengan perbandingan saham 51:41 persen, lanjutnya, daerah dinilai masih memiliki saham mayoritas. Bahkan, ia mengatakan pemerintah kabupaten dimana Blok Siak berada akan otomatis mendapat saham dalam konsorsium.

"Baik mereka (Pemda) minta atau tidak, akan tetap dapat saham," ujarnya.



Dilepas Sayang

Blok Siak dilihat dari produksi minyak yang ada sekarang sebenarnya bukan merupakan tempat yang terlalu menghasilkan, karena Chevron hanya bisa memproduksi 1.600-2.000 barel per hari, dengan asumsi satu barel setara dengan 158,987 liter. Kontrak bagi hasil (production sharing contract) di Blok Siak berlaku sejak 1991 selama 22 tahun, artinya akan habis pada November tahun ini.

Namun, Chevron sudah jauh-jauh hari menyatakan tetap tertarik untuk memperpanjang izi di blok tersebut. Padahal, sebelumnya perusahaan Amerika Serikat itu tidak mempertahankan CPP Blok, yang saat itu bisa memproduksi 50.000 barel per hari, dan akhirnya dikelola oleh PT BSP sejak 2002.

"Kita masih tertarik karena Blok Siak merupakan satu keterikatan dengan Blok Rokan," kata GM Policy, Government and Public Affairs Chevron Pacific Indonesia Usman Slamet di Pekanbaru, Rabu (27/3).

Ia menolak menjabarkan secara detil urgensi keberadaan Chevron di Blok Siak, maupun mengenai dampaknya terhadap operasi perusahaan apabila kontrak perusahaan itu tidak diperpanjang oleh pemerintah. Ia mengatakan apabila dipercaya pemerintah untuk meneruskan pengelolaan Blok Siak, maka Chevron yakin bisa melakukan upaya lebih optimal dari produksi yang ada sekarang.

"Namun, apa pun keputusan Kementerian ESDM nanti, kami tetap mendukung," kata Usman secara diplomatis.

Pengamat migas dari Universitas Islam Riau (UIR), Adi Novriansyah, menduga keputusan Chevron terus mempertahankan Blok Siak karena belajar dari pengalaman lepasnya CPP Blok dan Blok Langgak.

Sebabnya, keberadaan BUMD Riau di dua blok minyak itu ternyata memberi efek kurang baik karena mereka masih menumpang fasilitas pembangkit listrik dan pipa penyalur minyak yang sama. Dan bukan rahasia lagi bahwa petinggi Chevron sempat mengeluhkan kepada SKK Migas perihal dua BUMD itu menunggak pembayaran biaya dan pajak penggunaan fasilitas, padahal Chevron sudah menalangi pembayarannya ke pemerintah.

"Mungkin ada sisi trauma juga," kata Adi.

Terlepas dari itu, Adi mengatakan langkah RP untuk mengambilalih Blok Siak patut didukung oleh pemerintah. Kendala terpenting yang perlu ditanggulangi bersama adalah pengembangan teknologi.

"Pemerintah perlu memberi insentif kepada perusahaan daerah untuk pengembangan teknologi baru supaya bisa meningkatkan produksi," katanya.

Menurut dia, kepercayaan kepada BUMD Riau untuk mengelola blok minyak belum mendapat hasil yang signifikan terutama di CPP Blok melalui PT BSP yang menggandeng Pertamina dalam badan operasi bersama (BOB).

Produksi minyak CPP Blok saat dikelola Chevron sempat mencapai 50.000 barel per hari, namun terus anjlok ketika ditangani BOB Pertamina-BSP. Produksi minyak di CPP bahkan pada awal tahun 2013 tercatat hanya 14.869 barel.

"BUMD seharusnya jangan cuma tinggal buka keran dan terima apa yang keluar saja," katanya.

Selain itu, ia juga berharap semangat kedaerahan yang diusung RP untuk mengelola Blok Siak jangan disalahgunakan untuk kepentingan asing.

"Jangan sampai ternyata sahamnya lebih banyak milik asing, bukan pemerintah daerah," ujarnya.

Masa depan pengelolaan Blok Siak kini berada di tangan Kementerian ESDM sebagai pengambil keputusan pada akhir November nanti. Jangan sampai gara-gara dua Gajah memperebutkan ladang minyak, Si Pelanduk yang akhirnya jadi korban di tengahnya dan kemudian mati.

Oleh FB Anggoro
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013