Karena sepak bola telah menjadi komoditas, maka pengaturan skor muncul karena di sana bertemu antara pembeli dan penjual dalam ruang besar bernama "shopping mall"
Jakarta (ANTARA News) - Gegap gempita ajang sepak bola bermerk Liga Champions, Liga Europa dan Piala Dunia telah menghibur masyarakat dunia sebagai manifestasi dari ungkapan mendasar bahwa setiap manusia berciri "manusia yang bermain" (homo ludens).

Di balik "yang asyik" dari tayangan bola ternyata ada badai heboh yang didalangi oleh kelompok mafia pengaturan skor.

Beberapa waktu lalu, sebanyak 680 pertandingan bola dalam ajang penyisihan Piala Dunia dan laga Liga Champions dalam kurun antara 2008 dan 2001 terindikasi terkena virus bernama skandal pengaturan skor berskala global.

Adakah memang sepak bola internasional demikian bobrok karena terimbas oleh campur tangan mereka yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan nilai fair play yang merupakan jiwa dari setiap laga sepak bola?

Kerusakan akibat skandal pengaturan skor demikian serius mengancam nilai sportivitas sampai-sampai Interpol bersama lembaga kepolisian Uni Eropa (Europol) menghimpun kekuatan untuk menelisik dan menginvestigasi 380 pertandingan yang dihelat di Eropa dan 300 laga yang digelar di luar Eropa.

Pengaturan skor sepak bola menggenapi pepatah "di mana ada madu, di situ ada lebah". Sepak bola bagaikan madu, dan mereka yang berkomplot dalam pengaturan skor bagaikan lebah.

Tak heran bila Direktur Europol Rob Wainwright mengatakan lembaganya sedang mengidentifikasi sekitar 425 orang dari kalangan pejabat, pemain sampai pelaku kriminalitas yang terindikasi melakukan aksi pengaturan skor pertandingan bola.

Para investigator menyatakan aksi pengaturan skor laga bola oleh jaringan mafia itu punya beking berupa kartel di Singapura.

Dana yang terhimpun di sana ditaksir sebanyak 8 juta euro termasuk keuntungan dari hasil suap yang mencapai hampir 2,5 juta dolar Singapura.

Polisi Jerman melukiskan bahwa jaringan kurir pengaturan skor bola telah menggurita di seluruh dunia. Mereka menyuap para pemain dan wasit dengan jumlah uang sogokan bisa mencapai 180.000 dolar Singapura.

Mereka yang terhimpun dalam jaringan mafia itu memanfaatkan jaringan internet atau saluran telpon untuk berhubungan  dengan sejumlah bandar yang berkedudukan di Asia.

Aksi para bandar itu memenuhi fatsun klasik, bahwa bertambahnya cinta akan uang, sebesar itu pula napsu untuk mengeruk uang (crescit amor nummi, quantum ipsa pecunia crevit). Di mana uangmu, di situ hatimu berada.

Komentator dari BBC, Phil Parry menyatakan merebaknya pengaturan skor sepak bola ikut menumbuhsuburkan korupsi di beberapa negara. "Saya berpendapat bahwa masyarakat akan sejenak tercengang ketika mereka mengatahui skala dari jaringan itu," katanya.

Skandal pengaturan skor pertandingan merusak sendi-sendi integritas dalam olah raga, khususnya dalam sepak bola. "Masyarakat mulai menaruh keraguan akan integritas olah raga, mereka tidak akan mempercayai lagi hasil pertandingan," katanya.

Pengamat bola asal Jerman, Rafael Buschmann menulis dalam majalah Der Spiegel bahwa pengaturan skor pertandingan yang terjadi di Eropa menunjukkan kiprah UEFA dan FIFA boleh jadi  mengalami kegagalan, seiring usaha untuk mengungkap dalang beserta antek-anteknya dalam aksi itu.

Pada Februari 2011, dari sebuah dokumen lembaga pengadilan di Finlandia terungkap bahwa seorang warganegara Singapura bernama Wilson Raj Perumal telah bertemu dengan para wasit dan pejabat pertandingan untuk mengatur skor dua laga persahabatan berskala internasional.

Menurut dokumen pengadilan itu, ia kemudian menyuap enam wasit agar "mengamankan" hasil laga sesuai kemauan para bandar bola. Ini jelas aksi mafia pengatur skor bola.

Aksi Perumal memakan korban. Dua pertandingan, masing-masing laga timnas Bolivia melawan Latvia yang berakhir 2-1, dan laga antara Estonia kontra Bulgaria yang berujung skor imbang 2-2, terindikasi terkena ranjau pengaturan skor.

"Kami semua merasa terkejut, " kata mantan pemain timnas Jerman Lothar Matthaeus yang waktu itu menjadi pelatih timnas Bulgaria. "Kami sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi, meski saya tidak langsung menunjuk telah terjadi manipulasi," katanya pula.

Perumal akhirnya dicokok di Finlandia tidak lama setelah digelar sejumlah pertandingan. Ia memenuhi ungkapan dari pujangga Seneca bahwa "yang memperoleh imbalan dari sebuah kejahatan adalah dia yang melakukannya" (cui prodest scelus, is fecit).

Berbekal informasi dari Perumal itulah, para investigator mengungkap tali-temali dari skandal pengaturan skor berskala global. Europol mencatat, sepak bola Eropa menghadapi mafia pengaturan skor, utamanya yang berpusat di Asia.

Ketua FIFA Sepp Blatter bereaksi dengan berkata, sepak bola global tidak memberi toleransi apa pun dengan segala bentuk manipulasi skor pertandingan.

Perlu ditemukan dan dilakukan "sistem pengawasan dini" agar perilaku mafia skor laga tidak merusak sportivitas sepak bola. Perlu juga ditemukan pola-pola sistematis dari aksi judi bola agar aksi mafia pengatur skor tidak menjadi-jadi.

Pejabat penyelidik asal Jerman yang juga menjadi ahli dalam menyelidiki skandal-skandal judi olah raga, Friedhelm Althans menunjuk bahwa segala aturan yang mencegah skandal pengaturan skor tidak berdaya menghadapi aksi mafia itu.

Dalam sebuah jumpa pers, ia menyatakan, sistem pengawasan dini yang diberlakukan oleh FIFA dan UEFA "masih jauh dari kisah sukses".

Dua organisasi sepak bola itu mengandalkan sistem perangkat lunak yang dirancang untuk menjejak aksi skandal pengaturan skor di seluruh dunia, meski efektivitas perangkat itu tidak seluruhnya membuahkan hasil maksimal.

Mantan petugas UEFA yang merancang perangkat sistem itu mengatakan sistem pengawasan dini itu berfungsi ketika seseorang tengah melakukan pangaturan skor pertandingan, dan merekam jumlah uang yang relatif besar yang digunakan dalam aksi judi bola.

Sistem itu kedapatan "tidak berfungsi" alias melempem ketika menjejak jumlah uang yang relatif kecil di berbagai aksi taruhan judi bola.

"Mereka mengenali rumah-rumah judi bola di Eropa, umumnya perusahaan itu semi-ilegal dan ilegal yang berkedudukan di Asia," kata mantan petugas di UEFA.

Dua perusahaan yang bergerak dalam aksi taruhan kemudian ditertibkan. Ante Sapina dan Marijo Cvrtak telah dijatuhi hukuman di Jerman selama lima tahun karena keduanya menjadi dedengkot dari aksi taruhan antara tahun 2006 dan 2008. Keduanya dicurigai punya jaringan di Asia yang berhubungan dengan rumah taruhan di Inggris.

"Sistem peringatan dini tidak punya gigi. Aksi pengaturan skor merupakan bisnis yang menggiurkan bagi sejumlah orang untuk memperoleh banyak uang," kata petugas Interpol. "Para oknum itu umumnya berpusat di Asia."

Sejumlah aksi pengaturan skor bola pernah terjadi. Skandal "calciopoli" yang menerjang Juventus menjadi monumen getir bagi sepak bola Italia.

AC Milan, Lazio, dan Fiorentina tidak luput dari skandal itu dengan memanfaatkan wasit yang mudah diajak main kongkalikong. Ujung-ujungnya, Juventus dilorot ke Serie B dan dua gelar Serie A pada 2005 dan 2006 dibatalkan. Tiga klub itu perolehan poinnya dipangkas.

Pada 1993, presiden klub Marseille Bernhard Tapie kedapatan menyuap para pemain  Valenciennes FC di Liga Prancis. Klub itu kemudian diganjar hukuman dari Ligue 1 dan Tapie dikirim ke hotel prodeo.

Di Jerman pada 2005, wasit Robert Hoyzer mengaku telah berhubungan dengan sindikat pengatur skor pertandingan asal Kroasia. Sebanyak 2 juta euro telah diguyur sebagai uang sogok bagi pengaturan skor di divisi dua Jerman, divisi tiga dan Piala Jerman. Hoyzer akhirnya dijebloskan ke penjara.

Di Turki pada 2011, dua orang kedapatan mengatur skor pertandingan dalam pertandingan persahabatan di Turki - Latvia versus Bolovia, dan Latvia versus Bulgaria.

Tujuh gol dijaringkan dalam pertandingan itu, dan semuanya dihasilkan dari tendangan penalti. FIFA akhirnya menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi sejumlah pejabat, mereka berasal dari Hungaria dan Bosnia.

Di Turki pada 2012, presiden Fenerbahce, Aziz Yildrim dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena melakukan pengaturan skor enam pertandingan dan memberi uang suap kepada para pemain dan pejabat klub. Fenerbahce akhirnya dilarang  sementara ikut Liga Champions pada 2011-2012.

Serangkaian drama pengaturan skor oleh ulah para mafia itu jelas-jelas mencoreng jiwa sportivitas sepak bola. Sepak bola sebagai manifestasi dari "homo ludens" menganut salah satu pandangan klasik Yunani bahwa hidup akan terasa panjang apabila dipenuhi dengan perbuatan bermakna (longa est vita si plena est).

Pengaturan skor dalam sepak bola berkembang merebak dalam budaya global. Nah, kalau sepak bola menyediakan segalanya - dari olah raga sampai hiburan, bahkan kepentingan politik dan ekonomi dan sosial - maka sepak bola dapat diibaratkan sebagai "shopping mall".

Dengan sepak bola, orang dari mana pun dan berasal dari manapun dapat bertemu, berinteraksi bahkan  berjualan. Inilah akar masalah munculnya mafia pengatur skor pertandingan bola.

Pemikir postmodernis, Jean Baudrillard mengakui pentingnya shopping mall, "...karena di sana orang dapat menciptakan musim semi terus menerus, dengan demikian orang menjadi budak dari waktu. Mall, dapat diakses setiap hari dalam sepekan, dari siang sampai malam."

Sama halnya, dengan sepak bola, kini orang dapat menyaksikan tayangan sepak bola dari berbagai liga dunia lewat media elektronik, tanpa mengenal ruang dan waktu. Orang di berbagai belahan dunia manapun dapat menyaksikan kehebatan dari para bintang-bintang bola membela timnya.

Orang menjadi bulan-bulanan dari jadwal liga sepak bola, dengan kata lain orang menjadi budak dari waktu tayangan bola.

Baudrillard menyama-nyamakan shopping mall sebagai "tempat ibadah baru", bahkan dapat disebut sebagai "neraka" bagi masyarakat modern yang menjadikan konsumsi sebagai tuhan-tuhan yang baru. "Aku mengonsumsi, maka aku ada". "Aku menyaksikan tayangan sepak bola, maka aku ada".

Laga demi laga sepak bola dijual untuk dikonsumsi habis-habisan oleh mereka yang telah menjadi budak dari tayangan demi tayangan media. Dalam situasi seperti inilah, mafia bola gentayangan bak hantu di taman kayangan bernama sepak bola global.

Nah, dalam lingkup serba konsumtif seperti inilah, aksi mafia pengaturan skor merebak tumbuh subur di laga bola. Karena sepak bola telah menjadi komoditas, maka pengaturan skor muncul karena di sana bertemu antara pembeli dan penjual dalam ruang besar bernama "shopping mall".

Dan media cetak dan elektronik ikut menjadi dayang dari permaisuri bernama hasrat konsumtif masyarakat penggila bola. Ungkapan khas Betawi, "Ente jual, ane beli."

Dan publik pecinta bola global senantiasa berseru, "semoga hal itu jauh dari kami" (longe absit). Dan pujangga Plautus menegaskan, apa yang diperoleh dengan cara yang jahat, akan hancur menyengsarakan (male parta male dilabuntur).
(A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013