Solo (ANTARA News) - Penegakan keadilan untuk pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan hidup seluruh rakyat Bangsa Moro merupakan prasyarat bagi terciptanya persatuan dan perdamaian Bangsa Moro yang lestari.

Hal itu menjadi kesepakatan dalam Forum dialog Perdamaian Bangsa Moro yang digelar Universitas Muhammadiyah Surakarta selama dua hari, demikian Ketua Panitia Forum Dialog Dr. Muslich Hartadi Susanto kepada ANTARA, Minggu.

Forum dibuka Rektor UMS Prof Bambang Setiaji, dengan sambutan kunci Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin selama dua hari pada Jumat dan Sabtu.

Forum dialog berbagai pemangku kepentingan untuk persatuan dan perdamaian Bangsa Moro menghadirkan Jun Muntawil dari Bangsa Moro, Sudibyo Markus sebagai wakil PP Muhammadiyah di International Contact Group, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, dan Valeria Martano sebagai direktur Community Sant Egidio Italia.

Forum dialog ini antara lain dihadiri delegasi panel negosiasi Pemerintah Filipina, Front Pembebasan Islam Moro (MILF), Kementrian Luar Negeri RI, LIPI, Henry Dunant Centre Swiss, Dubes RI untuk Filipina, perwakilan kedutaan besar Jepang, Arab Saudi, Turki, Pemda Nangroe Aceh Darussalam, representatif Uni Eropa, berbagai LSM, peneliti, serta mahasiswa berbagai universitas se-Jawa.

Pada dialog hari kedua, Sudibyo Markus menyampaikan agenda bantuan kemanusiaan dari Muhammadiah untuk rakyat Bangsa Moro, berupa pelayanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan pemberdayaan perempuan.

Pengalaman Muhammadiyah dalam pelayanan dan pembangunan bidang sosia-budaya merupakan kekuatan sekaligus peluang untuk memberikan bantuan dan kerjasama kongkrit pada Bangsa Moro yang sedang menjalani fase rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik.

Diperlukan dialog inklusif yang komprehensif dari berbagai pihak masyarakat sipil dan elemen pemerintah untuk mengatasi persoalan berat ini bersama-sama.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah melalui jurubicaranya menekankan kesamaan antara status otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam dan Bangsa Moro. Pengalaman Aceh dalam mengelola kedaulatan dan kekhususannya diharapkan mampu memberi hikmah dan inspirasi bagi Bangsa Moro yang diinginkan rakyat Aceh bukanlah kemerdekaan atau pemisahan dari NKRI, tegas Zaini Abdullah.

Valerie Martano menggarisbawahi aspek keadilan sosial sebagai tujuan penting semua bangsa dan negara berdaulat dalam menjamin kesejahteraan seluruh rakyat secara merata tanpa diskriminasi.

Sementara itu, Jun Muntawil dari Bangsa Moro memaparkan, pengakuan dari masyarakat internasional atas otonomi Bangsamoro masih harus terus diupayakan melalui jalur diplomasi politik.

Negosiasi perdamaian kini berada pada tahap akhir dan diharapkan final dalam beberapa bulan mendatang. Namun pada saat bersamaan, secara internal Bangsa Moro juga masih menghadapi kendala polarisasi antar masyarakat masyarakat sipil sesama Bangsa Moro, yang diwakili oleh dualisme MNLF dan MILF.

Kedua organisasi yang mengklaim sebagai kekuatan politik dominan di Mindanao ini, dalam persaingannya memperoleh dukungan rakyat, seringkali menimbulkan perpecahan diantara sesama saudara Bangsa Moro.

Para pembicara dalam Dialog Perdamaian Bangsa Moro sepakat penegakan keadilan untuk pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan hidup seluruh rakyat Bangsa Moro merupakan prasyarat bagi terciptanya persatuan dan perdamaian Bangsa Moro yang lestari.

Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi kemasyarakatan Indonesia yang menjadi anggota International Contact Group (ICG), bersama dengan The Henry Dunant Center Swiss, The Asian Foundation, Conciliation Resources (Inggris) dan Foreign Missions dari pemerintah Jepang, Inggris, Turki dan Arab Saudi.

ICG mendapat kepercayaan untuk mendampingi Bangsa Moro bertransisi menuju Pemerintahan Mandiri yang berformat Ministerial, namun masih dalam kerangka negara Filipina, terutama dalam penyusunan perundangan dasar untuk menjamin peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Bangsa Moro. (ZG)

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013