Saya bukan oposisi, saya adalah solusi"
Caracas (ANTARA News) - Rakyat Venezuela, Minggu pagi waktu setempat, berbondong-bondong menuju bilik- bilik suara untuk memilih pengganti Hugo Chavez.

Mereka akan memilih Nicolas Maduro yang berharap akan melanjutkan revolusi sosialis Chavez atau Henrique Capriles yang bersumpah mengubah negeri yang disebutnya telah terbelah itu.

Sebulan setelah mangkatnya Chavez, para pendukung Presiden sementara Nicolas Maduro meniupkan sangkala khas militer untuk membangunkan orang-orang dari tidurnya dan kemudian antri di TPS-TPS, dari daerah paling kumuh di Caracas sampai distrik-distrik makmur.

Dengan memanfaatkan suasana duka untuk mentornya dan kini memimpin di jajak pendapat, Maduro berjanji meneruskan kebijakan berbasis dana minyak yang berhasil memangkas kemiskinan dari 50 menjadi 29 persen lewat program-program prorakyat di bidang kesehatan, pendidikan dan pangan.

Sementara Capriles berharap bisa memetik keuntungan dari ketidakpuasan nasional atas naiknya angka kejahatan, kelangkaan makanan, inflasi tinggi dan usia mudanya, untuk bisa menang setelah 14 tahun dikuasai Chavez.

Desember tahun lalu Chavez menyebut Maduro yang mantan sopir bis dan aktivis serikat pekerja yang lalu menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden, sebagai penerusnya. Chavez meninggal dunia pada 5 Maret lalu dalam usia 58 tahun.

"Kita akan menciptakan rekor memilih dalam demokrasi mobilisasi kita," tulis Maduro dalam Twitter-nya, seperti dikutip AFP.

Sabtu kemarin Maduro memimpin seremoni di barak militer lama di mana Chavez diistirahatkan untuk selamanya, demi memperingati naiknya lagi sang penguasa dari kekuasaan setelah dikudeta pada 11-13 April 2002.

"Anda semua tahu bahwa komandan Chavez memberi saya tugas yang sulit dan saya menerimanya bagai anaknya. Saya merasakan kedamaian," kata Maduro (50) kepada anggota milisi sipil yang dibentuk Chavez setelah kudeta gagal itu. "Saya akan setia kepadanya sampai akhir hayat."

Capriles menuduh pemerintah menyalahgunakan kekuasaan dan menyelewengkan sumber negara dengan menyelenggarakan acara yang disiarkan televisi, padahal masa kampanye telah berakhir Kamis sebelumnya.

"Mari kita memilih! Harapan, keyakinan, dan keberanian," tulis Capriles dalam Twitter.

Selama kampanye Capriles menghindari mengkritik Chavez dan berjanji setia kepada misi sosial sang mendiang pemimpin Venezuela itu.

Dia kalah dari Chavez dengan marjin 11 poin pada Pemilihan Presiden 7 Oktober tahuh lalu.  Itu adalah pencapaian tertinggi kelompok oposisi penentang Chavez.

"Saya bukan oposisi, saya adalah solusi," kata gubernur negara bagian Miranda yang berusia 40 tahun ini, yang datang mewakili kaum muda negeri itu.

Dia menyalahkan pemerintah atas ekonomi yang sulit dan bersumpah memangkas bantuan untuk Kuba.  Kuba menerima 100.000 barel minyak per hari dari Venezuela, sebaliknya Havana mengirimkan para dokter dan pakar ke Venezuela.

Maduro dan Capriles terlibat dalam kampanye sengit yang ditandai dengan saling ejek. Pemerintah menuduh ada persekongkolan membunuh sang presiden sementara, sedangkan oposisi menyebut ada upaya mengubah Chavez sebagai orang suci (santo).

Maduro menyebut pesaingnya "agak borjuis", sebaliknya Capriles menyebut Maduro pengecut.

Sejumlah jajak pendapat menunjukkan Maduro unggul 10 dan 20 poin, tapi survey terakhir pekan lalu dia hanya unggul tipis 9,7 poin.

"Maduro memiliki dua senjata paling penting, yaitu permintaan terakhir Chavez dan mesin negara," kata Ignacio Avalos, sosiolog pada Universitas Central, Venezuela.

"Rakyat akan berduyun-duyun keluar dan memilih demi menyelamatkan warisan Chavez," kata Denis Oropeza (33), seorang pegawai museum.

Sedangkan para pendukung oposisi mengatakan Maduro akan melanjutkan kebijakan yang memperparah ekonomi negara itu yang walu kaya minyak tapi mengimpor pangan.

"Mimi buruk Hugo Chavez telah menenggelamkan negeri ini," kata Alexis Chacon (74), pemilik sebuah perusahaan kimia, sepertin dilaporkan AFP.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013