Jakarta (ANTARA News) - Warga Klaten protes karena petir yang belakangan kerap menyambar daerah mereka kembali memakan korban rakyat jelata.

Dalam lakon "Gundala Gawat" yang dipentaskan Teater Gandrik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis malam, beberapa kawasan di desa mereka pun ludes bersamaan akibat perbuatan yang diduga dilakukan oleh ayah Gundala.

Mereka pun menyalahkan Gundala Putra Petir atas perbuatan ayahnya.

"Kau kan putra petir, tanggung jawab! Bapakmu yang nyamber," kata warga yang marah sambil mengacung-acungkan parang.

"Hebat petirnya, desa bisa ludes bareng. UN saja nggak bisa bareng," timpal Gundala, yang diperankan oleh Susilo Nugroho, santai.

Pak Petir (Butet Kartaredjasa) menolak dijadikan kambing hitam atas peristiwa itu. Ia berkeras petir memang selalu datang tiba-tiba dan kedatangannya yang lebih sering ke wilayah tempat tinggal Gundala menurut dia agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang kagetan.

"Memangnya tugas petir cuma menyambar! Ada tugas mulia, membangun mental bangsa!" kata Pak Petir, yang selalu menggenggam petir ke mana pun ia pergi.

Di tengah-tengah kondisi desa yang gawat, Gundala dipanggil Hasmi (Harya "Hasmi" Suraminata, pembuat komik Gundala yang memerankan dirinya sendiri) untuk berkumpul dengan teman-teman superhero lain karena keadaan sedang gawat, perampokan bank terjadi di mana-mana.

Para superhero yang kini sudah tua dan lama menganggur pun berkumpul di ruma Hasmi: Aquanus (Jamaluddin Latif), Jin Kartubi (M. Arif "Broto" Wijayanto), Pangeran Melar (Gunawan Maryanto), dan Sun Bo Kong (Jujuk Prabowo).

Rekan-rekan lama Gundala menuduh ia membuat cerita sendiri dan menuai keuntungan dari wabah petir itu.

Hanya Sun Bo Kong yang saat itu membela Gundala. Hasmi yang sedari tadi asik menggarap komiknya pun menawarkan solusi dengan membuat tokoh baru seorang pahlawan bernama X9.

X9 pun memimpin teman-temannya yang kini tidak selincah dulu untuk mengusut wabah petir dan perampokan bank yang rupanya disebabkan oleh kelompok garong Harimau Lapar.

Petualangan Gundala dan kawan-kawan pun dimulai. Ia harus menghadapi pilihan sulit dan melihat orang-orang terdekatnya membelot.


Dagelan

Sutradara Djaduk Ferianto mengemas lakon "Gundala Gawat" secara apik. Ia mampu menghidupkan dunia komik Gundala dan lakon hidup Hasmi dengan baik sehingga penonton mampu membedakan dunia Gundala dan dunia Hasmi.

Ketika pada akhirnya dunia Gundala dan Hasmi berbaur menjadi satu, Djaduk membawa penonton perlahan untuk memahaminya.

Melalui Nungki (Agnesia Linda), istri Hasmi, yang awalnya tidak bisa melihat sosok Jin Kartubi, penonton diajak melihat bahwa itu merupakan imajinasi Hasmi.

Kritik terselip dalam dialog cerita yang ditulis oleh Goenawan Mohamad, termasuk di antaranya yang diucapkan oleh Pak Petir.

"Penggarongan tetap terjadi. Kalian yang seharusnya disejahterakan, tetap tidak. Penggarongan atas nama kecerdasan,  kesopanan, kesantunan, bahkan Tuhan Yang Maha Esa."

Selain itu lelucon juga mewarnai penampilan Teater Gandrik. Djaduk mengatakan lelucon-lelucon para pemain kebanyakan bersifat spontan.

Termasuk adegan ketika Gundala dengan gerak tubuhnya mengisyaratkan sedang gantung diri dan Pak Petir langsung menyambar, "Ini bukan Monas" merujuk pada ucapan seorang politisi yang menyatakan siap digantung di Monas kalau terbukti korupsi.

Ia mengatakan pada penampilan berikutnya mungkin guyonan yang dilontarkan akan berbeda.

"Setiap hari pasti ada perubahan-perubahan yang tadi saya sebut misteri. Kehadiran penonton itu menjadi bagian perayaan dari sebuah teater," kata Djaduk.

"Penonton adalah rangsangan luar biasa dan akan muncul misteri luar biasa yang tidak bisa ditebak. Joke-joke-nya, improvisasinya, adalah spontanitas yang muncul hari itu," tambah dia.

Sementara menurut Butet Kartaredjasa, komik "Gundala" sendiri sudah seperti dagelan karena sang pahlawan tidak mengukuhkan diri sebagai manusia yang super.

"Setting kultur Jogja-nya hadir banget. Bayangin saja, superhero nonton wayang, beli jamu," kata Butet mengenang isi komik yang dibacanya.

"Itu Gandrik ala visual komik," katanya.

Pementasan cerita Gundala Putra Petir kali ini bukanlah yang pertama. Kisah dari komik karya Hasmi tahun 1969 itu pernah diangkat ke dalam lakon ketoprak di Purwokerto, Jawa tengah, tahun 1970-an.

"Ketika diangkat ke dalam media lain entah teater atau film, saya merasa itu sebuah pengayaan. Pengayaan dari wujud komik ke dalam bentuk teater atau film," tutur Hasmi.

Ia mengatakan, pementasan "Gundala Gawat" tidak hanya menjadi ajang nostalgia bagi para pembaca lama tapi juga menjadi ajang untuk memperkenalkan lagi superhero lokal Indonesia.


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013