Ya Allah, Engkau jadikan ia sebagai malaikat pengingatku"
Surabaya (ANTARA News) - Amalia Sulfana tengah berbunga-bunga. Suaminya, Nurul Ilmi yang dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo akan segera menyandang gelar doktor.

Guru SMAN 1 Babadan, Ponorogo, Jatim, itu mendapat kabar bahwa suaminya akan mengikuti ujian terbuka program doktor di IAIN Walisongo Semarang, 27 Desember 2012.

Kegembiraan Amalia jauh dari sekadar imam keluarganya akan menyandang gelar akademik tertinggi. Gelar doktor bukan hanya hasil perjuangan Nurul Ilmi seorang, yang harus belajar dan bekerja keras, termasuk menempuh perjalanan panjang Ponorogo-Semarang dengan sepeda motor.

Keluarga Nurul Ilmi juga berjuang menahan rasa akan kurangnya waktu berkumpul dengan sang ayah. Maka, wajarlah kalau akhir dari perjuangan yang berupa ujian terbuka itu hendak mereka rayakan.

Amalia ingin semua anaknya juga hadir dalam ujian tersebut. Mereka harus tampil prima dengan pakainan baru.

"Selasa, 25 Desember 2012, anak pertamaku Nada saya ajak ke Madiun untuk membeli sepatu bermerek ternama. Saya dan Nada bersepeda motor dari Ponorogo ke Madiun. Sesampainya di toko sepatu, Nada hanya geleng-geleng ketika kutawarkan sejumlah sepatu yang menurutku modis," tuturnya.

Yang lebih mengejutkan bagi Amalia adalah jawaban Nada. "Bu, di acara bapak besok, Nada pakai sandal ibuk saja. Ibuk pakai sepatu toh?" ucapnya.

Amalia langsung menimpali dengan lembut, "Mbak Nada, kalau pakai sandal ibuk nanti kelihatan tua lho. Itu kan sandal model ibu-ibu."

"Tidak apa-apa Bu, yang penting Nada pakai sandal," katanya, mantap.

Nada adalah anak remaja yang biasanya suka dengan pakaian-pakaian terbaru. Tapi mengapa dia menolak dibelikan sepatu? Demikian tanya Amalia dalam hati.

Barangkali sepatu itu kurang bagus, begitu ibunda menganalisa sikap Nada. Karena itu, ia masih berusaha untuk mengajak Nada ke toko sepatu di Ponorogo di hari yang sama pada malam harinya setelah menghadiri resepsi pernikahan.

Di toko itu, Nada lagi-lagi menegaskan bahwa di acara pengukuhan doktor ayahnya akan mengenakan sandal ibunya. Panik betul pikiran Amalia karena saat bersamaan ia harus menyelesaikan pembuatan kue yang akan dibawa ke acara pengukuhan suaminya.

"Ya Allah, tolong bukakan pikiran dan hati anakku," pintanya kepada Tuhan.

Malam itu, Amalia mengajak Nada ke toko lain, namun anaknya bersikeras tida mau dibelikan sepatu. Mereka pulang, Amalia kecewa.

Selasa, 26 Desember masih ada waktu bagi Amalia untuk membujuk Nada, sebelum berangkat ke Semarang pada tengah malam. Dicoba kembali si anak diajak ke toko sepatu di kota para seniman Reog itu. Bukan main girang Amalia karena anaknya mau dengan model sepatu sandal di toko itu. Tapi ia kaget karena yang dipilihnya adalah barang dengan harga super murah untuk ukuran anak baru gede (ABG). Sepatu itu seharga Rp35.000.

Satu kebutuhan telah selesai. Amalia melihat Nada tidak memiliki "pakain pantas" untuk dipakai di Semarang. Dari toko sepatu, diajaklah si anak toko pakaian. Jawaban Nada di toko pakaian itu lagi-lagi mengejutkan Amalia.

"Ibu, untuk yang satu ini Nada tidak mau nurut sama ibu. Bukankah di rumah masih ada pakaian bagus, mengapa harus membeli lagi? Nada tidak mau, pokoknya tidak mau," katanya lebih tegas.

Pikiran Amalia langsung berkelana ke acara pengukuhan doktor suaminya nanti. Pikirnya, apa kata orang kalau anakku mengenakan pakaian yang tidak bagus? Tapi keteguhan hati Nada tidak lagi bisa diajak kompromi. Amalia mengalah. Ia berdamai dengan perasaan, termasuk bayangan akan tanggapan orang di Semarang nanti.

Pada Selasa malam, ketika beberapa jam sebelum dirinya dan keluarga harus berangkat ke Semarang, Amalia membuka facebook dan menemukan status anaknya, Nada yang sangat mengejutkan. Bahkan sangat menampar ego dirinya sebagai seorang ibu dan sekaligus guru.

"Kesederhanaan adalah segalanya. Aku mencintai kesederhanaan. Biarlah aku tetap dalam kesederhanaan. Bukan berarti kesederhanaan itu hina dan memang tidak harus dihina," demikian bunyi status facebook milik Nada.

Buliran kecil tak mampu dibendung dari kelopak mata Amalia. Ia menangis. Inilah, jawaban dari sikap anaknya yang menolak dibelikan pakaian baru. Bahkan ketika Nada berkompromi dengan mau membeli sepatu, rupanya itu dilakukan juga sekadar menyenangkan sang ibu.

"Ya Allah, Engkau jadikan ia sebagai malaikat pengingatku. Terima kasih telah kau ciptakan Nada untukkku. Ia adalah sumber inspirasiku," bisik hati Amalia.

Cerita tentang orang tua yang berguru kepada anaknya itu adalah penggalan karya wali murid untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kartini yang diselenggarakan oleh pengelola Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Qurrota A`yun Ponorogo, beberapa waktu lalu.

Pada lomba dengan juri pakar dan praktisi pendidikan Dr H Sutejo, MHum itu, karya Amalia meraih juara 2, sementara juara pertama 1 diraih Isnatin Ulfa yang suaminya juga doktor dan dosen di STAIN Ponorogo. Juara ketiga diraih Shinta Maharani, penyandang gelar doktor dari sebuah universitas di Surabaya.

Sutejo yang merupakan pakar sastra mengemukakan bahwa ide menggelar lomba menulis bagi wali murid itu tergolong kreatif. Lewat lomba itu, kita diajak untuk melihat kelebihan-kelebihan si anak, yang selama ini mungkin seringkali diabaikan.

"Kisah-kisah yang ditulis para wali murid ini sangat menginspirasi. Ternyata orang tua bisa berguru kepada si anak," kata penulis belasan buku fiksi dan nonfiksi ini.

Ketua Yayasan Qurrotu A`yun Ponorogo Ahmad Marsudin, MSi mengatakan bahwa sekolah yang berdiri sejak 2003 itu memang selalu melibatkan orang tua. Artinya, bukan hanya anak yang diajak untuk belajar menjadi baik, tapi juga ayah dan ibunya.

"Di awal masuk, kami melakukan wawancara dengan orang tua. Komitmen yang kami bangun adalah pendampingan di rumah. Misalnya orang tua berkomitmen untuk menegakkan shalat, termasuk berjamaah. Ada juga pengajian dan lainnya. Jadi orang tua di sekolah ini juga repot untuk masa depan anak-anaknya," paparnya.

Lomba menulis itu, menurut dia, adalah bagian dari membangun komitmen orang tua untuk tidak menyerahkan 100 persen pendidikan anak-anaknya kepada guru. Orang tua adalah komponen penting dari proses pendidikan anak-anaknya.

"Nanti seluruh hasil karya dari lomba ini akan kami bukukan. Siapa tahu menjadi inspirasi bagi orang tua lainnya yang membaca," tukas Marsudin.

Oleh Masuki M Astro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013