Tokyo (ANTARA News) - Tepat pukul 08.00 waktu Tokyo, Nishiyama (19) dan kawan-kawan yang menghuni Onoe Stable memasuki arena tempat mereka berlatih.

Tempat berlatih yang berada di lantai dasar Onoe Stable (tempat tinggal sekaligus berlatih) itu, beralas tanah dan dibuat seperti arena pertandingan sumo, diberi lingkaran (ring) dengan pembatas semacam jalinan jerami yang diikat seperti tambang.

Para pesumo itu memasuki arena dengan hanya mengenakan mawashi, sabuk yang dibuat seperti cawat, lazim dipakai pesumo saat latihan maupun bertanding.

Mereka mengawali latihan dengan pemanasan, dengan cara mengangkat tinggi satu kaki hingga lurus sambil memukul paha, diikuti gerakan merendahkan badan membentuk kuda-kuda, begitu berulang kali, bergantian.

Sesekali, mereka menepi untuk melap keringat atau mengambil air minum yang tersedia di pinggir arena. Air disediakan dalam wadah seperti ember dari kayu dengan gayung kecil.

Setelah itu, mereka melakukan gerakan seperti mendorong lawan meski tanpa lawan di hadapannya, dilanjutkan dengan saling berhadapan dan saling dorong seperti duel dalam pertandingan.

Setiap pagi, dengan diawasi oleh sumo masternya, para atlet itu menjalani latihan pagi (asa geiko) selama sekitar satu setengah jam, mulai pukul 08.00 - 09.30 waktu setempat.

Namun bukan berarti mereka bisa bangun siang, karena sebelum berlatih mereka harus membereskan perlengkapan pribadinya dan menyiapkan perlengkapan latihan.

Untuk itu, mereka paling lambat harus bangun pukul 06.30 setiap harinya.

Meski tinggal di tempat semacam asrama yang dikelola oleh stable master (oyakata), Nishiyama dan kawan-kawan harus mengurus segala keperluannya sendiri.

Memasak, mencuci, beres-beres, tidak ada yang melayani.

Nishiyama yang tinggal bersama rekan sesama pesumo, Fukamiyama, dan seorang penata rambut pesumo, Sakamoto, berbagi tugas untuk mengurusi urusan di kamar mereka yang berada di lantai dua Onoe Stable.

Seperti saat dikunjungi beberapa jurnalis Indonesia, Sabtu (11/5), malam Nishiyama dan Fukamiyama sedang sibuk memasak di dapur menyiapkan santap malam. Sedangkan Sakamoto menata meja makan.

Malam itu, Nishiyama memasak orak arik telur dicampur sosis ikan, salmon panggang, tumis sayuran dan tidak ketinggalan makanan khas para pesumo, sup chankonabe, campuran sejumlah sayuran, ikan dan daging yang berkalori tinggi.

Untuk memberi asupan bagi tubuh yang berat rata-ratanya di atas 100kg --Nishiyama memiliki berat dan tinggi badan masing-masing 155kg dan 195cm-- itu, biasanya mereka menyantap lima porsi nasi dan berbagai lauk-pauk tersebut untuk sekali makan.

Enaknya, mereka tidak perlu mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk menyediakan makanan sebanyak itu, karena oyakata telah menyediakan tempat tinggal sekaligus menanggung seluruh kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Tugas mereka hanya berlatih dan meraih kemenangan dalam pertandingan, layaknya seorang atlet profesional yang dikontrak sponsor.

Mereka juga mendapat semacam gaji dan bonus sesuai dengan prestasi dan divisi tempat mereka berada.

Tradisional
Kesibukan lain tampak di Kokugikan di kawasan Ryokoku, arena yang akan menjadi lokasi turnamen sumo profesional di Tokyo mulai 12 Mei hingga dua pekan ke depan.

Stadion berkapasitas 11.000 penonton itu sedang menggelar upacara Dohyo Matsuri, upacara penyucian ring sehari menjelang turnamen digelar.

Para pengurus Asosiasi Sumo Jepang dan semua yang terkait termasuk pesumo yang akan berlaga, duduk mengitari arena mengikuti upacara tersebut.

Upacara dipimpin tiga orang pendeta shinto, mengenakan pakaian tradisional berwarna putih, yang melakukan berbagai ritual bertujuan untuk menyucikan arena (ring) sebelum digunakan bertanding. Sementara seluruh peserta mengikutinya dengan khidmat.

Sepanjang upacara berlangsung, tidak seorang pun diperkenankan berbicara dan beranjak dari tempat duduknya, sampai upacara yang ditutup dengan iring-iringan dua genderang, masing-masing ditandu dua orang dan dipukul dua orang lainnya mengelilingi arena, itu selesai.

Ritual pembukaan turnamen di Kokugikan kali ini tidak berakhir sampai di situ. Masih ada parade dari stadion menuju kuil untuk melakukan doa bersama.

Parade tersebut tidak dilakukan pada setiap pembukaan turnamen, melainkan hanya 30 tahun sekali. Hampir seluruh peserta parade mengenakan pakaian tradisional termasuk para pesumonya.

Sumo, olahraga semacam gulat yang sudah hidup lebih dari 1.000 tahun di negara asalnya, Jepang, memang sarat dengan tradisi sekalipun sudah menjadi olahraga profesional.

Mulai dari latihan, persiapan pertandingan, hingga pertandingan, sarat dengan tradisi yang tetap dipegang teguh, mungkin itulah yang membuat olahraga tersebut tetap hidup bahkan berkembang sampai ke luar Jepang.

Oleh Fitri Supratiwi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013