Jakarta (ANTARA News) - Sebuah "telur rebus" yang pinggirannya dikelilingi "tanah" disajikan dalam sebuah mangkuk besar berwarna hitam.

Kembang gula berwarna merah jambu menghiasi pinggiran mangkuk.

Saat bagian tengah "telur" itu dipotong dengan sendok, terlihatlah cairan kuning, namun isi telur itu tidaklah amis, justru aroma mangga tercium dari "telur" itu.

Sajian bernama Egg No yang penampilannya dan teksturnya mirip telur rebus itu dibuat dari White Chocolate Panacotta berisi "kuning telur" yang sebenarnya adalah Mango Ravioli.

"Tanah" yang mengelilingi telur merupakan Chocolate Chilli Soil yang memberi sensasi hangat di tenggorokan.

Menu tersebut merupakan salah satu makanan penutup yang disajikan Pipiltin Cocoa milik kakak beradik Tissa Aunilla dan Irvan Helmi. 

Populerkan cokelat Indonesia
Irvan menuturkan, budaya makan cokelat belum mengakar luas di tanah air, padahal Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia.

Ironis, katanya, saat orang-orang masih mengasosiasikan cokelat dengan negara Eropa seperti Belgia, Prancis, dan Swiss.

"Saya lihat butik di Swiss yang menjual cokelat bar. Cokelat-cokelat terbaik yang dipamerkan di bawah lampu senter itu ternyata berasal dari Bali dan Jember," tutur Tissa yang meraih gelar  Master Chocolatier setelah belajar di Felchlin, Swiss.

Hal tersebut memicu mereka untuk membuat cokelat Indonesia yang berkualitas.

Tanpa memiliki latar belakang di bidang produksi cokelat, Tissa sebelumnya berkarir di bidang hukum dan Irvan berkecimpung di bidang IT, mereka melakukan riset selama empat tahun.

Perjuangan itu terwujud dalam bisnis Pipiltin Cocoa Factory & Cafe yang bertujuan untuk memperkenalkan cokelat asli Indonesia dengan konsep Bean to Bar, dari biji cokelat hingga menjadi cokelat batangan yang akan diolah menjadi beragam sajian.

Di tempat yang baru berjalan selama dua bulan, pengunjung dapat melihat proses pembuatan cokelat yang dikerjakan para koki.

Dengan konsep open kitchen, pengunjung dapat melihat proses roasting (untuk mengeluarkan rasa pada biji kakao), winnowing (memisahkan cangkang dengan inti biji cokelat), grinding (menggiling biji dengan batu menjadi cairan cokelat), mixing (mencampur dengan bahan lain seperti gula dan susu), conching (mengaduk cokelat dalam waktu lama untuk menguapkan sebagian rasa asam), dan tempering lewat kaca-kaca transparan.

Suasana dapur tampak seperti pabrik mini dengan mesin-mesin pengolah cokelat yang diimpor dari Amerika dan Italia.

"Kami hanya memakai cokelat Indonesia, saat ini yang sudah ada dari Pidie Jaya, Aceh dan Tabanan, Bali," tutur Irvan.

Mereka membeli biji kakao yang sudah difermentasi langsung dari petaninya dengan kisaran harga Rp30.000-Rp40.000/kg, harga yang disebutnya sebagai harga premium sehingga petani mau menjalin bisnis meskipun mereka membeli dalam skala kecil.

"Kami ingin jadi pasar alternatif sehingga kami membeli ke koperasi dan petaninya langsung dengan fair price," jelasnya.

Kini, mereka masih mencari biji-biji cokelat dari beragam penjuru Indonesia lainnya untuk menjadi bagian dari kreasi Pipiltin. Maumere, Flores, adalah salah satu target berikutnya.

"Kakao itu seperti kopi, rasanya berbeda tergantung darimana asal tumbuhannya. Rasa cokelat Aceh memiliki unsur kacang, sementara itu cokelat Bali lebih fruity, ada asam-asamnya," jelas dia.

Saat ini, mereka masih fokus dalam membuat sajian cokelat menarik dalam berbagai bentuk, seperti Egg No yang seperti telur dan Tabanan Chocolate yang berisi ragam cokelat asal Tabanan dengan beragam tekstur.

Produk cokelat batangan belum diproduksi, meskipun menjadi salah satu target yang akan diwujudkan kelak.

Soal nama, Tissa menjelaskan arti dari Pipiltin, yaitu sebutan bagi kalangan bangsawan dari bangsa Aztec, ketika cokelat adalah makanan untuk persembahan bagi para dewa. 

"Jadi, kami juga ingin memberikan cokelat yang terbaik di sini," imbuhnya.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013