Hokkaido (ANTARA News) - Tiga orang perempuan menari menirukan gerakan-gerakan burung yang mengepakkan sayapnya. Mereka mengibas-kibaskan bajunya yang seolah-olah menyerupai sayap.

Gerakannya tidak terlalu rumit. Kadang jongkok, kadang berdiri. Kadang berkumpul, tak lama kemudian menyebar.

Itulah tarian Sarorunchikap rimse, tarian burung bangau yang diperagakan para wanita Ainu.

Penampilan mereka, pakaian dan asesorisnya, lebih mirip dengan suku Indian di Amerika atau Dayak Kalimantan ketimbang bangsa Jepang.

Padahal, mereka adalah penduduk asli di utara Jepang yang sudah mendiami Pulau Hokkaido, Tohoku, Chrishima dan Sakhalin ratusan tahun lalu. Ya, mereka memang berbeda dengan bangsa Jepang yang dikenal sekarang.

Tarian tersebut pun mungkin sekarang hanya bisa ditemui di museum. Salah satunya di Porotokotan.

Porotokotan berarti "kampung di tepi danau". Ya, museum berupa replika perkampungan itu memang berada di tepi Danau Poroto.

Museum tersebut terdiri atas lima rumah yang menunjukkan perbedaan aspek dari kehidupan dan budaya Ainu.

Selain tarian tadi, di Porotokotan dapat ditemui pertunjukan tari dan nyanyi serta alat musik tradisional di antaranya permainan Tonkori, alat musik petik seperti harpa dengan lima dawai.

Salah satu tariannya, Iyomante rimse, yang merupakan tarian melepas arwah beruang menuju surga, telah diakui sebagai kekayaan budaya oleh UNESCO pada 2009.

Pertunjukan itu digelar di salah satu dari lima rumah yang terdapat di kampung museum tersebut.

Dalam satu ruangan yang tidak terlalu besar itu, tepiannya dipasangi bangku-bangku bagi pengunjung yang ingin menyaksikan pertunjukan tari dan nyanyi.

Bagian atap ruangan digunakan untuk menggantung ikan-ikan salmon yang diasapi. Menangkap ikan salmon adalah salah satu mata pencaharian utama suku Ainu.

Saking banyaknya hasil tangkapan salmon, pada masa lalu, mereka bahkan memanfaatkan kulit salmon untuk dibuat sepatu seperti dipamerkan di museum Ainu yang dibangun di bagian depan sebelum deretan rumah tradisonal itu.

Museum tersebut memuat diorama sejarah suku Ainu beserta beberapa benda kuno peninggalan masa lalu.

Datang ke Porotokotan yang berada di distrik Shiraoi, sekitar 100 kilometer selatan Sapporo, membuat pelancong dapat melihat sisi lain dari Jepang.

Saat ini, populasi suku yang berbeda dengan etnik Jepang itu sudah semakin menipis jumlahnya, dan kebanyakan tinggal di Hokkaido.

"Sebenarnya mungkin jumlahnya lebih banyak dari yang diketahui, karena banyak yang menyembunyikan identitas diri mereka," ujar Masayo Fujii, pemandu wisata yang mendampingi sejumlah wartawan Indonesia.

Menurut data di Museum Ainu, di Hokkaido terdapat sekitar 24.000 orang Ainu dan sekitar 2.700 berada di Tokyo.

Sikap menyembunyikan identitas tersebut, kata Fujii, berkaitan dengan sejarah pada masa Meiji (1868-1912) yang menyebut Ainu sebagai "bekas penduduk asli".

Berdasarkan catatan Museum Ainu, pada awal era Meiji, Ainu bergabung dengan daerah kekuasaan Jepang sehingga terjadi asimilasi di antara kedua etnis, yang membuat keaslian Ainu hilang.

Namun pada akhirnya pemerintah Jepang mengakui keberadaan suku yang tidak mempunyai huruf itu dengan budayanya yang berbeda.

Di museum kampung itu, pengunjung juga dapat melihat beruang coklat Hokkaido yang didewakan oleh suku tersebut, juga anjing putih Hokkaido teman mereka berburu.

Jadi, jalan-jalan ke Hokkaido tidak hanya melulu soal pemandangan indah dan makanan lezat dari hasil laut.

Oleh Fitri Supratiwi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013