London (ANTARA News) - Pelajar Indonesia yang tergabung dalam PPI Belanda menyerukan tuntutan kepada segenap penguasa di negeri ini, khususnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk segera menuntaskan pengusutan dan pengadilan terhadap kasus pelanggaran HAM di era '98 dan setelahnya.

Hal itu disampaikan Sekjend PPI Belanda Ridwansyah Yusuf saat memberikan rekomendasi dan usulannya kepada Komisi III DPR RI yang tengah melakukan kunjungan ke Belanda dalam rangka Studi Banding untuk keperluan RUU KUHAP dan KUHP dalam pertemuan yang diadakan di KBRI Den Haag, baru baru ini.

Head of Dept. Communication and Information, PPI Belanda , Ryvo Octaviano kepada ANTARA London, Sabtu mengatakan dalam pertemuan dan tatap muka bersama pelajar dan masyarakat Indonesia di Belanda yang dihadiri sekitar 50 peserta Komisi III DPR RI dipimpin Gede Pasek Suantika dari Partai Demokrat yang juga menjadi juru bicara saat diskusi.

Dalam diskusi dengan Komisi III DPR RI para pelajar yang tengah menuntut ilmu di Belanda juga menuntut agar pemberantasan korupsi dijalankan dengan serius. Serta pengusutan kasus-kasus korupsi dilakukan dengan tuntas dan tidak tebang pilih, khususnya yang menyangkut koruptor yang merugikan negara. Selain itu meminta agar penindakan kasus terorisme dilakukan dalam koridor HAM dan hukum yang benar.

Kepada Komisi III DPR RI yang juga dihadiri Tjatur Sapto Edi dari PAN dan Ade Surapriatna dari Partai Golkar , PPI Belanda memandang studi banding ke luar negeri adalah sebuah mekanisme yang dapat ditempuh DPR RI dalam upaya memperkaya wawasan dalam proses pembuatan perundangan di Indonesia.

Namun demikian, banyaknya sikap kritis dari masyarakat tentang studi banding ini masih kerap terjadi dikarenakan tidak transparannya proses studi banding dari tahap persiapan hingga evaluasi pasca kepulangan.

Untuk itu, PPI Belanda melihat perlunya memberikan rekomendasi kepada DPR RI tentang skema studi banding yang perlu ditempuh DPR RI agar studi banding menjadi bermanfaat dan terhindar dari dugaan negatif publik, demikian Ryvo Octaviano Graduate Student Systems & Control, Technische Universiteit Eindhoven.

PPI merekomendasikan agar panca-skema studi banding luar negeri DPR RI juga dilakukan studi kelayakan, sebagai bentuk analisa pendahuluan tentang kebutuhan studi banding; wawasan apa yang diperlukan, negara tujuan mana yang sesuai, lembaga apa yang tepat, serta siapa yang cocok untuk ditemui. Studi kelayakan ini berisikan Tujuan, sasaran, capaian, dan indikator keberhasilan.

Selain kualitas konten dari studi banding perlu disiapkan dengan baik dan cermat. DPR RI perlu memiliki panduan yang jelas tentang studi banding yang akan dijalankan; basis wawasan dasar sebelum berangkat, pertanyaan yang ingin disampaikan ketika kunjungan, dan analisa yang mendalam setelah kepulangan.

Jumlah peserta studi banding juga perlu di efesienkan sesuai dengan akuntabilitas keuangan karena publik perlu mengetahui berapa jumlah anggaran yang dikeluarkan DPR RI dalam setiap studi bandingnya. Tidak sekedar jumlah totalnya melainkan juga detail per pengeluaran sehingga publik mengetahui betul kemana uang rakyat dialokasikan selain untuk mendiseminasi informasi dari tahap persiapan, selama studi banding, dan setelah kepulangan.

Publik perlu mendapatkan informasi secara berkala tentang agenda studi banding ini sejak sebelum keberangkatan melalui press conference atau website.

Selama studi banding pun DPR RI perlu melakukan temu muka dengan masyarakat Indonesia di negara tujuan, serta setelah kepulangan perlu adanya laporan khusus yang disiapkan tentang pencapaian selama studi banding berbasis rencana yang telah dibuat sebelumnya.

Tindak Lanjut, akhirnya studi banding akan sia sia bila tidak ada kelanjutan yang jelas setelahnya. Untuk itu diperlukan tindak lanjut yang jelas, terutama dalam hal masukan terhadap konten perundangan atau kebijakan yang tengah di susun.

Sebelumnya Gede Pasek memaparkan latar belakang kebutuhan revisi KUHP dan KUHAP, yang menurut pertimbang bahwa kedua UU ini telah uzur dan butuh banyak perbaikan dan perubahan agar bisa semakin bermanfaat untuk rakyat.

Dalam sesi tanya jawab dimulai oleh Rihan Handaulah dari TU Delft yang mempertanyakan tentang tujuan, sasaran, alasan, serta indikator keberhasilan dari studi banding yang dijalankan. Kemudian Omar Razak dari The Hague School of Applied Science mempertanyakan mengapa bukan pakar yang melakukan studi banding.

Pertanyaan ketiga disampaikan Baskoro Muhammad dari Groningen University yang kembali mempertanyakan rasionalitas formalitas keberangkatan serta kualitas subtansi perjalanan, dan menyinggung tentang kebutuhan dana studi banding yang menurut informasi media mencapai Rp6,5 miliar.(ZG)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013