Kalau negara saja tidak punya perhatian, lalu saya harus percaya kepada siapa?
Surabaya (ANTARA News) - "Kok kayaknya nggak ada negara saja," ucap warga Siring, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Hartawi, dengan suara samar, tapi jelas tegas.

Ketika ditanya alasan dari pandangannya itu, korban lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas itu mengatakan desanya sudah tenggelam dan hilang dari peta geografis sejak 29 Mei 2006.

"Tapi, pemerintah belum pernah bertanya kepada warga korban lumpur tentang nasibnya sekarang. Kalau negara saja tidak punya perhatian, lalu saya harus percaya kepada siapa?," tuturnya.

Pandangan itu agaknya beralasan, karena masih banyak ganti rugi yang belum dibayarkan, padahal Peraturan Presiden 14/2008 sudah lama dan kadaluwarsa.

"Anak-anak kami banyak yang putus sekolah, sedangkan biaya ganti rugi yang sebagian sudah diberikan kepada sebagian warga juga habis untuk biaya berobat (kesehatan) dan kontrak yang semakin mahal," tukasnya.

Bahkan, sebagian korban lumpur mencari tambahan biaya hidup dengan menjadi tukang ojek di kawasan lumpur. "Ya, beban kami sangat berat, apalagi penghasilan ojek juga tidak selalu cukup," paparnya.

Nasib Hartawi dan kawan-kawannya masih saja "tenggelam" dalam selang waktu tujuh tahun luapan lumpur (29 Mei 2006-29 Mei 2013), padahal desanya sudah hilang dan mereka pun sudah kehilangan segalanya.

Tenggelamnya "suara" Hartawi dan kawan-kawannya itu agaknya idem dengan "suara" para pakar dan peneliti yang melakukan penelitian tanpa kepentingan apapun, kecuali riset, namun "suara" nyaris tak terdengar.

Misalnya, peneliti dari Teknik Geologi UGM Yogyakarta Bosman Batubara yang "tenggelam" juga suaranya, apalagi dia menyajikan data-data akurat tentang penyebab luapan lumpur Lapindo itu.

"Upaya mengaitkan bencana lumpur di Porong, Sidoarjo dengan gempa bumi di Yogyakarta itu merupakan `cara baca` yang cenderung menyamakan bencana alam dengan bencana industri," ulasnya.

Faktanya, magnitude gempa Yogyakarta hanya 4 kilo-Pasca, padahal untuk sampai ke Porong, Sidoarjo dari Yogyakarta yang berjarak 280 kilometer itu perlu "magnitude" sebesar 10 kilo-Pasca.

"Jadi, secara saintis nggak mungkin, apalagi sekarang dikaitkan dengan rekahan Watukosek yang justru terkesan mencari-cari," ungkap penulis buku `Kronik Lumpur Lapindo Bencana Industri dan Bisnis Lumpur Lapindo` itu.



Bencana industri

Tenggelamnya "suara" korban lumpur dan peneliti agaknya tidak "menenggelamkan" semangat para pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya untuk bersikap.

Tidak tanggung-tanggung, para pakar ITS pun tetap menggelar Peringatan Tujuh Tahun Lumpur Sidoarjo (2006-2013) yang diadakan Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS bekerja sama dengan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Disaster Risk Reduction (DRR) Indonesia.

Selain itu, PSKBPI ITS juga meluncurkan buku bertajuk "Evaluation of Mud Flow Disaster Alternatives in Sidoarjo Regency Indonesia" yang merupakan hasil riset dari berbagai peneliti yang dihimpun oleh dua peneliti ITS dan seorang peneliti asing.

Intinya, penanganan lumpur Lapindo dapat dilakukan dengan empat cara yakni penanggulan, mengalirkan dengan pompa, pembuatan kanal khusus, dan pengaliran lumpur dengan pipa dan pompa sekaligus.

"Dari keempat cara itu, upaya mengalirkan lumpur Lapindo dengan pompa merupakan cara termurah dalam mengatasi luapan lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas itu," kata pakar dari Jurusan Teknik Sipil ITS Ir I Putu Artama Wiguna MT PhD.

Dalam diskusi Tujuh Tahun Lumpur yang menampilkan peneliti dari Teknik Geologi UGM Yogyakarta Bosman Batubara di Rektorat ITS Surabaya (27/5/2013), ia menjelaskan pihaknya membandingkan keempat cara itu dengan estimasi 30 tahun beserta dampak yang menyertai selama itu.

"Itu karena sejumlah peneliti memperkirakan lumpur itu akan mengecil atau bahkan tuntas dalam 30 tahun. Cara penanggulangan tanpa pengaliran hingga 30 tahun akan membutuhkan biaya Rp29 triliun," katanya.

Tapi, cara membuang lumpur dengan pompa hanya membutuhkan Rp14,5 triliun, sedangkan cara pembuatan kanal khusus membutuhkan biaya Rp35,5 triliun.

Untuk cara mengalirkan dengan pipa dan pompa sekaligus membutuhkan biaya Rp15,6 triliun. "Jadi, upaya mengalirkan dengan pompa lebih murah dalam estimasi selama 30 tahun," katanya.

Cara lain yang lebih komprehensif ditawarkan peneliti dari Teknik Geologi UGM Bosman Batubara. Ia mengusulkan perlunya Indonesia mengadopsi UU Bencana Industri dari negara lain, karena hingga saat ini hanya ada UU Penanggulangan Bencana Alam.

"Padahal, bencana industri akan semakin mengancam Indonesia sehubungan dengan maraknya pertambangan di Tanah Air, seperti sudah terjadi di Sidoarjo (Porong), Bojonegoro, Pati, dan sebagainya," katanya.

Agaknya, rekomendasi yang "tenggelam" dalam kubangan lumpur perlu "dibongkar" yakni perlunya UU Penanggulangan Bencana Industri, karena bila terjebak pada bencana alam, maka bencana industri yang akan semakin banyak pun tidak akan pernah terantisipasi, tentu bencana industri pun mensyaratkan penanganan sosial dan teknologi yang lebih komprehensif.

Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2013