Jakarta (ANTARA News) - Binatang terbuas sekalipun tak akan menyerang bila tak diusik, ungkapan itu tampaknya tepat untuk menggambarkan delapan ekor harimau sumatera (Panthera Tigris sumatrae) yang menjalani rehabilitasi di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Lampung Barat.

Di kawasan konservasi yang dikelola Artha Graha Peduli pimpinan pengusaha Tomy Winata itu, delapan ekor harimau menjalani rehabilitasi untuk menghilangkan trauma pascakonflik dengan manusia akibat berebut lahan.

Manusia, makhluk hidup yang berada di posisi teratas rantai makanan, merambah kawasan teritorial habitat harimau dengan berbagai alasan. Harimau-harimau itu diusir, diburu bahkan dibunuh.

Tak heran, populasi harimau sumatera semakin lama semakin sedikit. Apabila tak ada upaya pelestarian dan rehabilitasi, harimau sumatera akan bernasib sama seperti harimau jawa. Punah dan tak pernah ada lagi yang melihat, kecuali sebagian orang di lereng pegunungan kapur di selatan Jawa yang mengaku melihat harimau "jadi-jadian".

"Harimau di sini hampir semuanya pernah berkonflik dengan manusia dan membunuh orang. Sebenarnya harimau tidak akan menyerang apalagi membunuh orang kalau dia tidak diganggu atau dendam karena teritorialnya dirusak. Harimau cenderung menghindari manusia," kata Pendiri TWNC Tomy Winata.

Pernyataan Tomy itu tampaknya memang benar. Antara yang mengunjungi Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di TWNC pada Senin-Selasa (27-28/5) melihat sendiri bagaimana harimau-harimau itu justru menjauh saat didekati manusia.

Mereka hanya bereaksi apabila diusik dan diganggu. Saat salah satu petugas TWNC mengguncang jeruji kandang mereka misalnya, mereka baru akan mengeluarkan raungan yang suaranya bagaikan motor gede bermesin 1.000 cc.

Tomy juga mengatakan dalam radius tiga kilometer dari base camp TWNC terdapat wilayah teritorial harimau yang dilepasliarkan. Namun, hingga kini tidak pernah ada harimau yang menyerang karyawan TWNC maupun warga dua dusun di Pekon (desa) Way Haru yang berada di dalam kawasan konservasi.

Untuk merehabilitasi harimau dari trauma pascakonflik dengan manusia, mereka ditempatkan di dalam kandang berukuran sekitar 20 meter persegi yang sekelilingnya ditutup rapat, kecuali satu sisi yang menghadap ke hutan dan bagian atas kandang. Tujuan dinding kandang mereka ditutup rapat supaya interaksi dengan manusia tidak terlalu banyak.

Harimau-harimau yang sudah hampir siap untuk dilepasliarkan ditempatkan di tempat yang lebih luas, yaitu tempat terbuka dengan hutan-hutan yang dikelilingi pagar. Untuk melatih insting berburu, harimau-harimau itu diberi makan seekor babi hidup seberat 15 kilogram setiap tiga hari sekali.

"Harimau di pusat rehabilitasi ini harus diberi makanan hidup untuk membiasakan diri berburu di alam liar. Setiap tiga hari kami beri makan seekor babi," kata Marizal, penjaga harimau di TWNC.

Karyawan TWNC lainnya, Akhmad Basori mengatakan TWNC telah melepasliarkan lima ekor harimau di kawasan konservasi seluas 45 ribu hektar. Dua ekor harimau pertama dilepasliarkan pada 2008, kemudian 2010 (dua ekor) dan 2011.

Setiap harimau yang dilepasliarkan selalu dipasangi "global positioning system" (GPS) supaya tetap dapat dipantau. GPS tersebut biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu enam bulan hingga sembilan bulan.

"Dengan pantauan GPS, kami juga dapat memantau area teritorial harimau. Biasanya tiga bulan setelah dilepasliarkan, area teritorial harimau sudah bisa diketahui," kata Basori.



Warga asli


Selain harimau-harimau yang pernah berkonflik dengan manusia, Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera TWNC juga memiliki "warga asli" kelahiran tempat tersebut. Mereka adalah tiga ekor harimau berusia 16 bulan yang dilahirkan harimau betina bernama Panti dan diberi nama oleh Ibu Negara Kristiani Yudhoyono.

"Ibu Ani memberi nama setelah melihat karakter berdasarkan foto mereka yang dikirim ke Jakarta. Masing-masing diberi nama Bintang, Topan dan Petir," kata Basori.

Saat Antara dan beberapa media Jakarta bersama Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya dan rombongan mengunjungi Bintang, Topan dan Petir pada Selasa (28/5), mereka hanya meringkuk di pojok kandang seolah-olah takut dengan kehadiran manusia.

Mereka baru berani bereaksi ketika di dekat kandang hanya tinggal dua orang saja. Antara termasuk orang terakhir yang meninggalkan kandang mereka, sempat mendapatkan "ucapan perpisahan" berupa raungan yang menggelegar.

Rombongan juga sempat menyaksikan bagaimana harimau betina bernama Mekar diberi makan seekor babi. Mekar yang sempat menjauh ketika rombongan mendatangi pagar, segera mendekat ketika melihat seorang pegawai TWNC membawa seekor babi.

Ketika babi dimasukkan melewati pagar, Mekar segera menerkam. Namun, terkaman Mekar tidak serta merta membunuh babi itu. Mekar tampaknya hanya melumpuhkan babi itu supaya tidak lari.

Setelah mendapatkan seekor babi, Mekar segera membawa babi itu menjauh dari pagar. Dari kejauhan, terlihat Mekar "memandikan" babi itu di dalam kolam, kemudian meninggalkannya di rerumputan yang rimbun dan berkeliling di sekitarnya.

"Dia berkeliling sebelum makan untuk memeriksa apakah di wilayah teritorialnya ada harimau lain," kata salah satu pegawai TWNC.



Konservasi bagi flora-fauna

TWNC merupakan kawasan konservasi yang berada di dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan menjadi perlindungan bagi flora dan fauna endemik wilayah tersebut. TWNC didirikan Tomy Winata pada 1997 di bawah pengelolaan Artha Graha Peduli.

Saat ini, tim Artha Graha Peduli masih terus melakukan survei tentang flora dan fauna yang ada di dalam kawasan konservasi tersebut.

Kurnia, Latifiana, salah satu karyawan TWNC yang terlibat dalam survei flora dan fauna mengatakan setidaknya ada 60 hingga 70 spesies burung dan 10 spesies mamalia di bagian selatan kawasan konservasi tersebut.

"Survei masih terus dilakukan dan kemungkinan tim akan mendapatkan spesies-spesies lain yang selama ini belum terdata," ujarnya.

Pembina Artha Graha Peduli Tomy Winata mengatakan mulai memasuki kawasan hutan di wilayah barat Lampung itu pada 1996. Saat itu kawasan tersebut mengalami kerusakan karena perburuan dan pembalakan liar.

Pada 1997, Artha Graha Peduli mulai menata kawasan tersebut. Dengan kerja keras kawasan tersebut pelan tapi pasti mengalami perbaikan.

"Sejak 1997 kami di sini, tapi baru mendapat pengakuan dari pemerintah melalui peresmian oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 2010. Motivasi saya hanya ingin memberikan yang terbaik, berapa pun biayanya, kepada ibu bumi yang telah melahirkan kita," katanya.

Oleh Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013