Istanbul (ANTARA News) - Gambar perempuan dalam balutan gaun musim panas merah yang tiada henti dibagikan melalui media sosial dan digandakan sebagai kartun untuk poster dan stiker menjadi simbol para perempuan pemrotes selama demonstrasi anti-pemerintah di Istanbul, Turki. 

"Foto itu merangkum esensi dari protes ini," kata seorang pelajar bernama Esra di Besiktas, dekat selat Bosphorus, yang menjadi salah satu pusat demonstrasi pekan ini.

"Kekerasan polisi bertentangan dengan aksi damai, orang-orang hanya berusaha melindungi diri mereka dan apa yang mereka hargai," katanya seperti dikutip Reuters.

Dalam satu kopi grafis yang ditempel di dinding, perempuan bergaun merah tampak jauh lebih besar dari polisi.

"Makin banyak kau semprot, kami makin besar," demikian bunyi slogan yang tertulis di sampingnya, merujuk pada aksi polisi menyemprotkan gas air mata kepada para demonstran.

Pemrotes lain mengenakan kostum "perang" dan masker muka saat mereka melemparkan batu, kebanyakan perempuan-perempuan sangat muda di Besiktas dan Taksim Square, tempat protes bermula pada Jumat.

Pemrotes kini juga lebih mempersiapkan diri dengan mengenakan topi keras, pakaian hitam dan sepatu olahraga. Namun banyak juga yang berdandan feminin, seperti perempuan bergaun merah di Taksim Square.

"Tentu saya gugup dan saya tahu ini bisa berbahaya. Tapi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bahaya kehilangan Republik Turki, kebebasan dan semangatnya," kata mahasiswa ekonomi berusia 23 tahun Busra, yang mengatakan orangtuanya mendukung aksi protes dia.

Dengan kacamata renang, masker operasi untuk melawan gas air mata, serta syal pada leher mereka, Esra, Hasine dan Secil juga berdiri di daerah Besiktas pada Senin sore, bergabung dengan kumpulan remaja yang jumlahnya makin lama makin banyak.

Seperti perempuan bergaun merah, mereka termasuk kelompok perempuan yang merasa kehilangan sesuatu dalam pemerintahan Perdana Menteri Tayyib Erdogan di Turki.

Mereka merasa terancam dengan promosi Erdogan mengenai pengenaan kerudung bagi perempuan.

Beberapa perempuan juga menunjuk aturan aborsi barunya sebagai tanda bahwa Erdogan, yang menyarankan setiap perempuan Turkin punya tiga anak, ingin menggulung hak-hak perempuan dan mendorong mereka kembali ke peran tradisional.

"Saya menghargai perempuan yang mengenakan kerudung, itu hak mereka, tapi saya juga menginginkan hak saya untuk dilindungi," kata Esra. 

"Saya bukan orang kiri atau anti-kapitalis. Saya ingin menjadi perempuan pebisnis dan hidup bebas di Turki," tambah dia.

Mustafa Kemal Ataturk, pendiri republik sekuler yang terbentuk tahun 1923 itu, mendorong para perempuan mengenakan pakaian Barat dibandingkan kerudung.

Erdogan adalah pemimpin Turki yang paling dominan sejak Ataturk. Ia mulai berkuasa tahun 2002 dan popularitasnya masih tak tertandingi, meski demonstrasi selama akhir pekan mungkin akan mempengaruhinya.

"Erdogan mengatakan 50 persen orang memilih dia. Saya ke sini untuk menunjukkan bahwa saya 50 persen lainnya, separuh populasi yang merasa tidak dia hargai, yang ingin dia tekan," kata siswa kimia, Hasine.

"Saya ingin punya masa depan di Turki, karir, dan kebebasan untuk menjalani hidup saya. Tapi semua itu di bawah ancaman. Saya ingin Erdogan mengerti ini," tambah dia.

Erdogan membantah tuduhan bahwa dia ingin membujuk orang-orang untuk memelihara agama. Ia juga mengatakan bahwa aturan tentang alkohol yang baru diberlakukan dan menuai protes lebih untuk melindungi kesehatan, bukan berlatar agama.


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013