Selamat jalan Pak 'TK',"
Garut (ANTARA News) - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Datuk Basa Batuah Dr (HC) H Taufiq Kiemas wafat di Rumah Sakit Nasional Singapura, Sabtu, pukul 19.21 waktu setempat atau 18.21 WIB karena sakit.

Berita wafatnya Taufiq Kiemas atau yang akrab dengan panggilan "Pak TK" menyebar melalui kicauan dari Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Pramono Anung.

Pak TK yang lahir di Jakarta 31 Desember 1942 wafat pada usia 71 tahun.

Bapak Negara (First Gentleman) pertama RI semasa pemerintahan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri (2001-2004) merupakan politikus negarawan yang sangat peduli pada nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan dari sebuah bangsa majemuk dan besar seperti Indonesia ini.

"Selamat jalan, pak. Doaku untukmu semoga Tuhan membalas amal baikmu untuk nusa dan bangsa," kata Zuhairi Misrawi, Tenaga Ahli Pak TK.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono menyampaikan rasa duka yang mendalam atas wafatnya Taufiq Kiemas dan juga rasa simpati kepada keluarga mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, istri dari Taufiq Kiemas.

Juru bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kepada Antara di Jakarta menyatakan ungkapan belasungkawa itu langsung disampaikan mengatakan Presiden sudah mendengar kabar duka itu.

Julian mendapat informasi mengenai wafatnya Taufiq Kiemas dari anggota DPR RI TB Hasanuddin dan kemudian menyampaikannya kepada Presiden Yudhoyono.

Presiden dan Ibu Negara menjadwalkan untuk melayat jenazah ke rumah duka di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, setelah jenazah tiba di Tanah Air.


Karir politik

Pak TK merupakan putra dari pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzathoen Roesyda. Ayahnya berasal dari Sumsel dan ibunya dari Sumbar.

Pak TK mendapat gelar dari keluarga ibunya di Kanagarian Sabu, Batipuh Ateh, Tanah Datar, Sumbar, sebagai Datuk Basa Batuah.

Semasa hidupnya, Pak TK sangat aktif dalam kegiatan sosial politik. Ia mengawali politik saat kuliah dan aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Ia aktif pula di Partai Demokrasi Indonesia dan terpilih sebagai anggota DPR/MPR dalam Pemilu 1992 setelah sekian lama "terpasung" dalam aktivitas politiknya oleh rezim Orde Baru karena membatasi gerak keluarga Presiden I RI Soekarno.

Pak TK setia mendampingi Megawati setelah terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam kongres di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, walaupun kepemimpinannya tak diakui oleh rezim Orde Baru.

Penguasa lebih berpihak pada Soerjadi sehingga terjadi dualisme kepemimpinan di partai banteng itu yang berujung pada kerusuhan massa setelah kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai massa pro-Mega diambil alih oleh massa pro-Soerjadi yang dibantu aparat keamanan waktu itu.

Pak TK merupakan tokoh di balik layar bagi masa-masa sulit yang dialami Megawati dalam kepemimpinannya di PDI sehingga membentuk partai baru menjadi PDI Perjuangan.

PDI Perjuangan mendapat simpati luas dari rakyat sehingga memenangkan Pemilu 1999 dan Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden pada Sidang Umum MPR 1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur

Presiden Gus Dur dilengserkan oleh MPR pada 2001 sehingga mengantarkan Megawati menjadi Presiden, meneruskan jejak ayahnya, Sang Proklamator, Presiden I Soekarno.

Di PDI Perjuangan, Pak TK menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu).

Sebagai Bapak Negara, Pak TK berperan aktif menyosialisasikan pilar-pilar keutuhan kebangsaan, etika kehidupan berbangsa dan bernegara serta implementasi dasar negara Pancasila.

Komitmen itu pula yang mengantarkan Pak TK meraih gelar Doktor (Honoris Causa) dari Universitas Trisakti dalam Bidang Kebangsaan dan Bernegara.

Pak TK beberapa kali dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, karena sakit jantung yang dideritanya termasuk mengganti alat pemacu jantung.


Keseimbangan

Kepergian Pak TK mengesankan bagi berbagai kalangan.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengenang Pak TK sebagai tokoh yang telah berhasil menjaga keseimbangan di tubuh PDI Perjuangan sehingga PDIP tetap bisa menjadi Partai Wong Cilik yang Nasionalis Religius.

"Beliau juga di akhir masa hayatnya begitu gencar memberikan dukungan moral kepada kaum muda," katanya.

Sementara mantan Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia menyatakan bahwa bangsa Indonesia kehilangan tokoh bangsa yang sangat memahami, melaksanakan dan menjaga nasionalisme secara konstitusional.

Pak TK dalam posisi sebagai Ketua MPR memang gencar menyosialisasikan empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kuat menjaga keutuhan bangsa.

Pak TK juga dikenal sebagai tokoh yang menjalin komunikasi dan silaturahim dengan berbagai kalangan komponen bangsa tanpa membeda-bedakan antara pejabat tinggi dan rakyat jelata. Ia juga dikenal sebagai penengah di antara elit-elit politik yang berselisih paham sehingga dapat menjaga harmonisasi dan menjadi contoh bagi pendidikan politik bangsa.

"Selamat jalan Pak TK". (*)

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013