Jakarta (ANTARA News) - Sejak sebelum DPR mengesahkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) pada 9 Juli, telah terdapat berbagai macam prokontra di masyarakat mengenai produk perundangan tersebut.

Maksud dari UU P3H yang dapat disebut sebagai UU Antiperusakan Hutan itu, adalah untuk mengatur berbagai hal meliputi pencegahan perusakan hutan, pemberantasan perusakan hutan, kelembagaan, peran serta masyarakat, kerja sama internasional, perlindungan saksi, pelapor, dan informan, pembiayaan, serta sanksi.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa UU itu menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan.

"Adanya undang-undang ini dapat meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan," kata Zulkifli Hasan.

Selain itu, ujar dia, UU tersebut juga akan mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera.

UU Antiperusakan hutan baru itu terdiri atas 12 bab dan 114 pasal dan dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur.

Makna dari kelompok yang terstruktur sebagaimana dimaksud di atas adalah dua orang atau lebih yang bertindak secara bersama-sama, pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional, atau kegiatan non komersial seperti pemenuhan kebutuhan sandang/pangan/papan rumah tangga sendiri.

UU itu juga mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Dengan dibentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, maka penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini menjadi kewenangan lembaga tersebut.

Sedangkan tindak pidana perusakan hutan terorganisasi yang sedang dalam proses hukum, tetap dilanjutkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya sampai diperoleh kekuatan hukum tetap.


Menghukum Korporasi

Menhut menegaskan, melihat struktur dan substansi, maka jelas bahwa UU P3H tidak ditujukan untuk menghukum rakyat kecil, melainkan guna melawan kejahatan yang dilakukan korporasi besar.

"Ini saya tidak mengerti, kenapa UU ini dianggap akan menahan rakyat kecil. Saya tegaskan, tidak. Ini adalah untuk kejahatan yang terorganisir, yang sebagian dilakukan oleh korporasi bukan untuk peladang tradisional," katanya.

Untuk peladang tradisional, ujar dia, justru akan dilindungi oleh undang-undang tersebut dan tidak akan terganggu kegiatannya berladang.

Begitu pula untuk hutan yang termasuk dalam hak adat serta hak ulayat juga ditegaskan akan dilindungi oleh pemerintah dengan UU tersebut.

Penegasan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tersebut menanggapi ancaman Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan yang berencana akan mengajukan uji materi UU P3H yang baru disahkan kepada Mahkamah Konstitusi karena berpotensi mengkriminalkan masyarakat adat dan tradisional.

"Dalam beberapa pasal UU Pemberantasan Perusakan Hutan, terdapat definisi-definisi yang membuka peluang lebih besar terhadap kriminalisasi masyarakat adat dan atau komunitas lokal," kata peneliti Koalisi, Siti Rahma Mary, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (9/7).

Menurut dia, terdapat sejumlah pasal yang mengindikasikan hal tersebut seperti definisi terorganisasi yang diterjemahkan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih, dan melakukan tindakan yang merupakan satu kesatuan tujuan.

Ia menegaskan, kriminalisasi terhadap kegiatan masyarakat adat dan atau masyarakat lokal justru banyak terjadi karena pasal-pasal dengan definisi yang terlalu luas seperti ini.

Penegakan hukum, lanjutnya, selama ini cenderung hanya berlaku terhadap masyarakat adat dan atau masyarakat lokal serta para pelaku lapangan tindakan melanggar hukum itu sendiri.

"Padahal, yang seharusnya disasar adalah korporasi dan `mastermind` (dalang)," katanya.

Koalisi menyatakan bahwa masih ada korporasi dan dalang yang selama ini kerap lolos dari keadilan hukum.

Hal tersebut mengakibatkan makin merajalelanya kerusakan hutan, baik di tempat yang sama maupun berpindah-pindah tempat atau berganti modus.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah diminta untuk segera menyelesaikan rekognisi (pengenalan) kawasan hutan adat sebagai sebuah kepastian hukum dengan mengintegrasikannya pada berbagai kebijakan tenurial di Indonesia.

Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), Abdon Nababan mengatakan bahwa proses pengukuhan kawasan hutan adat hendaknya menjadi tanggung jawab negara melalui pemerintah.

"Sangat penting untuk segera menyelesaikan proses (rekognisi) tersebut sebelum penetapan perubahan kawasan hutan dalam usulan RTRW terlanjur dilakukan, agar Kawasan Hutan Adat terintegrasi dalam tata ruang daerah," ujar Abdon.


Kontraproduktif

Selain AMAN, Koalisi yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sawit Watch, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) itu juga menyatakan bahwa UU Pemberantasan Perusakan Hutan kontraproduktif dengan usaha pemberantasan korupsi.

Menurut beragam LSM itu, UU Antiperusakan Hutan yang baru ini berusaha memformulasikan seluruh pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan dalam satu perundang-undangan, termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Usaha tersebut dibarengi dengan pembentukan sebuah lembaga baru yang khusus menangani pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan, termasuk tindak pidana korupsi.

Koalisi menilai UU tersebut juga membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang kehutanan, karena diskresi yang berlebihan diberikan kepada pejabat daerah.

LSM menilai, hal itu kontraproduktif dengan usaha pembenahan kelembagaan kehutanan dan pemberantasan korupsi karena diberikannya fungsi pencegahan terhadap lembaga yang diusulkan UU itu akan menjadikannya tumpang tindih dengan Pemerintah Daerah, Kementerian Kehutanan, hingga Kementerian Pekerjaan Umum.

Selain itu, lembaga baru tersebut juga akan potensial menghalangi KPK yang sudah secara serius menegakkan hukum antikorupsi di sektor kehutanan.

Munculnya lembaga baru yang mengemban tugas penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan dinilai akan memperumit koordinasi dan supervisi antarlembaga sehingga penegakan hukum akan semakin rumit dan terganggu.

Koalisi LSM juga mengingatlan adanya fenomena "corruptors fight back" (koruptor melawan balik) sehingga RUU itu juga layak dicurigai sebagai upaya melemahkan KPK.

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan menyatakan menolak pengesahan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan dan menuntut pemerintah mengedepankan revisi UU No 41/1999 tentang Kehutanan secara komprehensif.

Koalisi juga mendesak agar pemerintah dan DPR melakukan moratorium penerbitan perundangan kehutanan dan tata ruang mengingat banyaknya regulasi yang tumpang tindih, koalisi mendesak pemerintah melakukan moratorium itu hingga peta jalan (road map) harmonisasinya jelas dan disepakati publik.

Siti Rahma yang mewakili Koalisi menjelaskan, hal tersebut juga mengingat bahwa pembentukan UU Antiperusakan Hutan tidak disertai dengan naskah akademik dan proses pembahasannya tidak terbuka.

Dengan adanya proses yang lebih transparan, maka diharapkan akan benar-benar tercipta UU Antiperusakan Hutan yang adil yang tidak hanya tajam ke bawah tetapi juga dapat mengungkap para dalang di atas. (M040/Z002)

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013