Rodgers dituduh keblinger karena ingkar dengan sejarah klub, khususnya ziarah sepak bola Inggris.
Jakarta (ANTARA News) - Apakah memang Brendan Rogers mampu mendongkrak pamor Liverpool FC di musim 2013/2014? Apakah memang pelatih kelahiran Irlandia Utara sedang mempraktekkan "jurus-jurus politik" di gelanggang Liga Inggris (Premier League)?

Mengapa pelatih The Reds itu disebut-sebut kesengsem dengan gaya Tiki-Taka yang nota bene bukan asli Inggris?

Rogers tidak ingin berlama-lama menjawab tiga pertanyaan itu? Kontan, ia menyodorkan rangkuman dokumen setebal 180 halaman berisi rencana pengembangan Liverpool dalam 40 tahun ke depan.

Sebut saja dokumen itu sebagai "Manifesto Rogers". Intinya, membuat dan menyulap sepak bola Liverpool menjadi lebih "atraktif dan lebih menyerang". Caranya, menerapkan tiki-taka ala Barcelona yang mengandalkan operan-operan pendek cepat tepat sasaran untuk sesegera meneror lini pertahanan lawan.

Rogers menerima tongkat jabatan sebagai manajer Liverpool sejak 1 Juni 2012, menggantikan Kenny Dalglish . Ia paham betul dengan ideologi sepak bola bahwa menang adalah tujuan dari segalanya, bahwa merebut trofi adalah tujuan dari segalanya pula.

Media massa Inggris yang dikenal culas berbondong-bondong bersama para pengamat bola setempat yang dikenal rewel, langsung bereaksi sinis. Visi Rogers di Liverpool direaksi bahkan dicemooh sebagai visi karbitan belaka, karena dinilai lari dari pakem tradisi sepak bola Inggris dan lebih mengadopsi tiki-taka Barcelona.

Kritik bertubi-tubi kepada Rogers dipicu oleh penampilan Liverpool yang miskin kreativitas, dan paceklik gol. Steven Gerrard dan kawan-kawan tampil tanpa dijiwai roh sepak bola, yakni melakukan penetrasi cepat ke jantung pertahanan lawan dan mencetak gol.

Media massa Inggris bersama pengamat bola negeri ratu Elizabeth itu buru-buru menyodorkan argumentasi atas kritik mereka. Rogers perlu mengacungkan tongkat ajaib seraya berucap "abrakadabra" karena penyakit Liverpool hanya satu yakni mandul mencetak gol.

Dicarilah kambing hitam dari karut marut Liverpool di musim lalu: soal rekrut pemain bermutu. Rogers disinyalir telah mengulang kekeliruan yang pernah dibuat Kenny Dalglish. Pelatih Liverpool itu dituntut bereaksi cepat di bursa transfer dengan membeli pemain anyar agar penampilan tim makin rancak.

"Kekacauan musim kompetisi lalu karena klub kurang bereaksi cepat di bursa transfer. Ini bukan semata-mata soal uang, ini lantaran manajemen kurang memberi kepercayaan penuh kepada manajer tim," kata salah seorang blogger Liverpool, Jim Broadman yang dimuat dalam situs BBC.

Gagal mendatangkan Clint Dempsey pada Agustus lalu dituding sebagai awal dari kegagalan langkah Liverpool. Tidak ingin berjuluk tim "pacar ketinggalan kereta api", Rogers merekrut Daniel Sturridge, selanjutnya mengarahkan bidikan kepada Phillipe Coutinho.

Badai kritik mereda. Liverpool punya dewa penolong dalam diri Lucas Leiva yang menjaringkan tujuh gol dalam 14 pertandingan. Sontak, penampilan pemain asal Brazil ini digadang-gadang menyerupai salah satu ikon Liverpool: Steven Gerrard.

"Kami melewati masa yang berat musim lalu," kata Lucas kepada BBC Sport. "Kami gagal menyabet dua piala dan gagal di Liga Eropa. Posisi kami di liga juga boleh dibilang mengecewakan. Kami perlu mulai tampil konsisten di musim mendatang."

Pernyataan Leiva itu merujuk kepada ujaran "tak selamanya mendung itu kelabu". Gayung bersambut, Rodgers mengisi amunisi dengan memanggil para pemain muda, dan membersihkan pemain yang dianggap sudah mentok.

"Saya bukan tukang sulap, tapi saya mampu memoles dan meningkatkan mutu para pemain. Itu pekerjaan saya dan percaya diri betul dengan talenta yang saya miliki," kata Rodgers.

"Di awal musim, kami melewati masa-masa yang kelewat sulit, karena kami harus tampil dengan pola bermain yang berbeda dengan sebelumnya. Saya senantiasa percaya bahwa sukses bakal datang. Perlu waktu untuk mewujudkannya."

Rogers bukan tipe manajer yang suka duduk manis di belakang meja dengan berpangku tangan. Ia bergerak trengginas dengan mengamati dan mencermati para pemain muda, dan membuka diskusi soal cara membangun Liverpool.

Bagi manajer Liverpool itu, sukses tidak dapat diraih dari rancangan indah di atas kertas, atau dicapai dengan omong-omong saja. Ini mirip dengan ungkapan klasik Latin "verba docent, exempla trahunt" (kata-kata itu sebatas mengajarkan, teladanlah yang membimbing).

Para punggawa muda bertenaga perlu dimasukkan ke tubuh Liverpool. Target diarahkan kepada bek Swansea Ashley Williams dan bek Newcastle Hatem Ben Arfa, sementara pemandu bakat The Reds terus memantau beberapa pemain antara lain pemain depan berusia 19 tahun yang membela Partizan Belgrade, Lazar Markovic, Christian Eriksen (Ajax), dan Bruno Martins (Feyenoord).

Langkah itu diambil karena bahtera Liverpool hampir karam ketika mengarungi samudera beberapa turnamen berkelas di daratan Benua Biru.

The Reds melewati empat musim berturut-turut tanpa mampu menyabet gelar Liga Champions, sementara Rodgers menghadapi situasi bagaikan makan buah simalakama, satu pihak perlu membeli pemain muda; di lain pihak, perlu memperhatikan kondisi keuangan klub yang boleh dibilang pas-pasan.

Rogers tidak ingin berlagak seperti trobadour yang keliling dari satu desa ke desa lain dengan mendendangkan lagu-lagu sumbang.

Ia kemudian memprioritaskan lini pertahanan, mengingat Martin Skrtel dan Jamie Carragher bakal gantung sepatu. Liverpool wajib punya tembok pertahanan kokoh.

"Kami berusaha mulai tampil dengan tipe permainan yang berpatokan karakter tim ini yakni mengontrol dan mendominasi permainan, meski lini pertahanan masih terus diperkuat."

Rodgers menggantungkan asa agar Liverpool menjadi tim yang tampil efektif dalam penguasaan bola, lebih kreatif mengontrol permainan.

Manajer The Reds itu dituding secara skeptis oleh pengamat bola dan media massa Inggris telah mengusung filosofi tiki-taka yang jelas bukan asli Inggris. Rodgers disebut telah terpapar virus aliran politik pragmatisme. Yang penting hasil, persetan dengan proses.

Pendukung fanatik Liverpool (liverpudlian) memvonis Rodgers telah berkhianat dengan pakem tradisional sepak bola Inggris: mengedepankan "passion" dan kekuatan fisik, serta mengandalkan "direct passing". Rodgers dituduh keblinger karena ingkar dengan sejarah klub, khususnya ziarah sepak bola Inggris.

Liverpudlian menyamakan tiki-taka dengan sepak bola "oper-dan bergerak". Tiki-taka tidak ada beda dengan permainan rugby. Mereka kemudian bernostalgia dengan mengulang-ulang ujaran "dulu, semasa Liverpool ditangani...."

Ketika The Reds dibesut Houllier, Liverpool tampil dengan pola serangan balik yang cepat dengan didukung barisan gelandang yang jempolan. Di bawah arahan Benitez, tim mengusung corak bermain lebih "menekan dan mengontrol" (squeeze and control) ketimbang "oper dan bergerak" (pass and move).

Rodgers kemudian mengadopsi langgam serangan balik dengan memasang Carragher, memanfaatkan keampuhan operan-operan tepat yang dilepaskan oleh Gerrard dan Coutinho, mengandalkan kecepatan Sturridge dan Suarez.

Terinspirasi oleh pesona tiki-taka, Liverpool memilih kombinasi Gerrard dan Suarez, sementara Barcelona amat menggantungkan diri kepada Messi (messidependencia).

Masalahnya, Gerrard kehilangan mobilitas karena tergerus usia (faktor Gerrard). Pemain senior ini lambat laun kurang dapat beradaptasi dengan tiki-taka ala Rodgers, sementara Suarez terus asyik dengan perilaku kontroversial.

Liverpool masih punya Coutinho yang dibaptis di katedral sepak bola sebagai jenius dalam melepaskan umpan dan mendribel bola. Soalnya sekarang: sepak bola adalah permainan tim.

Pertanyaannya sekarang, apakah Gerrard masih mampu beradaptasi dengan pola tiki-taka ala Rodgers? Soalnya sekarang: sepak bola adalah permainan yang menerapkan disiplin, bukan semata-mata mengedepankan onggokan pengalaman bertanding.

Rodgers bersama Liverpool memenuhi takdir sebagaimana dikatakan pujangga Latin klasik, Caesar "quae volumus, ea credimus libenter" (apa saja yang kita maui, dengan mudah akan kita percayai).

Sssttt...Rodgers sedang mengendap-endap dengan politik sepak bola ala tiki-taka!
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013