Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menolak keras resolusi parlemen Filipina yang menyatakan China melakukan tindakan ilegal di Laut Filipina Barat.

"Resolusi yang diadopsi oleh parlemen Filipina tidak berdasar, mengkritik, memberikan gambaran yang salah dan menjelek-jelekkan China. Kami dengan tegas menolaknya," kata Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Jumat (9/12).

Pada 6 Desember 2023, parlemen Filipina mengadopsi resolusi No 1494 yang menyatakan parlemen mengecam "tindakan ilegal" China di Laut Filipina Barat berupa serbuan China terhadap nelayan Filipina dan pasukan keamanan yang berpatroli di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Keputusan itu diambil dengan mengacu pada keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen tahun 2016 yang menurut parlemen Filipina memberikan hak kepada Filipina atas Laut Filipina Barat berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Atas tindakan parlemen Filipina tersebut, Wang Wenbin menyebut China memiliki kedaulatan yang tidak dapat disangkal atas "Nanhai Zhudao" yang terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao dan perairan di sekitarnya, serta memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas perairan terkait.

Dongsha, Xisha, Nansha, and Zhongsha mengacu pada empat kepulauan yang lebih dikenal sebagai Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan area Tepi Macclesfield.

"Kedaulatan, hak, dan kepentingan China di Laut Cina Selatan dibangun melalui perjalanan sejarah yang panjang dan secara kokoh didasarkan pada sejarah dan hukum," ungkap Wang Wenbin.

Selain itu, menurut Wang Wenbin, Pengadilan Arbitrase soal Laut Cina Selatan juga melanggar prinsip persetujuan negara, menjalankan yurisdiksinya di luar kewenangannya dan memberikan putusan dengan mengabaikan hukum.

"Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap UNCLOS dan hukum internasional secara umum. Keputusan tersebut tidak sah, batal demi hukum. China tidak menerima atau mengakuinya, dan tidak akan pernah menerima klaim atau tindakan apa pun berdasarkan putusan tersebut," tambah Wang Wenbin.

Soal pembangunan dan pengerahan fasilitas pertahanan, Wang Wenbin menyebut hal itu dilakukan China di wilayahnya sendiri yaitu di Nansha Qundao, dan melakukan patroli oleh kapal militer dan penjaga pantai China, aktivitas penelitian ilmiah hingga aktivitas penangkapan ikan juga oleh nelayan China di perairan di bawah yurisdiksi China, sehingga semuanya sah.

"Ren'ai Jiao juga adalah bagian dari Nansha Qundao China. Filipina secara ilegal menempatkan kapal perang di sana dan sering mengirim kapal untuk menyusup secara ilegal ke perairan sekitar terumbu karang untuk mengirimkan bahan-bahan konstruksi agar memperkuat kapal perang tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap kedaulatan China," ungkap Wang Wenbin.

Wang Wenbin menyebut penerapan moratorium penangkapan ikan pada musim panas yang dilakukan China di Laut Cina Selatan merupakan tindakan normal yang bertujuan melindungi sumber daya hayati laut di perairan yang berada di bawah wilayahnya dan merupakan langkah nyata dalam memenuhi kewajiban berdasarkan hukum internasional termasuk UNCLOS.

"Selama beberapa waktu, Filipina juga telah mengirim orang ke Tiexian Jiao dan pulau-pulau tak berpenghuni lainnya serta terumbu karang di Kepulauan Nansha dan mengirim pesawat serta kapal untuk menyusup ke perairan dan wilayah udara yang berdekatan di Kepulauan Nansha dan Huangyan Dao. Tindakan-tindakan ini sangat melanggar kedaulatan, membahayakan keamanan China, bertentangan dengan semangat Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC), dan melemahkan perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," jelas Wang Wenbin.

China, menurut Wang Wenbin, telah melakukan protes diplomatik secara serius hampir 100 kali kepada Filipina.

"Kami sekali lagi mendesak Filipina untuk berhenti membesar-besarkan perselisihan maritim antara China dan Filipina, menghentikan pelanggaran kedaulatan China dan provokasi di laut, kembali ke jalur penyelesaian perselisihan maritim melalui negosiasi dan konsultasi sesegera mungkin untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," kata Wang Wenbin.

Pulau karang yang disebut China dengan "Ren'ai Jiao" sedangkan oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" adalah bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya.

Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999.

Namun parlemen Filipina dalam resolusi terbarunya meminta pemerintah Filipina untuk memperkuat kemampuannya dalam melakukan patroli dan melindungi zona maritim Filipina dengan membangun program postur pertahanan yang mandiri.

Parlemen juga menyebut China tidak memilih dasar hukum untuk mengklaim hak bersejarah atas sumber daya di wilayah laut yang termasuk dalam "Nine-Dash Line" yaitu wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen darinya disebut China sebagai hak maritim historisnya.
Baca juga: Beijing sebut laporan lembaga Jepang soal China tak masuk akal
Baca juga: Beijing tuduh AS provokasi Filipina soal sengketa Laut China Selatan

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023