Jakarta (ANTARA News) -Ada sebagian peneliti khawatir bila "akses terbuka" benar-benar terwujud. Kekhawatiran itu mungkin karena mereka takut akan hilangnya Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), aspek kepengarangan dan aspek etika yang terlindungi.

Namun mungkin pelan-pelan kekhawatiran terwujudnya akses terbuka itu akan sirna. Banyak inisiatif yang memungkinkan hilangnya kekhawatiran tersebut, antara lain adanya prakarsa "Budapest Open Access Initiative" (Februari 2002).

Sejak prakarsa itu terwujud, banyak inisiatif serupa untuk mendorong "akses terbuka" di seluruh dunia. Tercatat ada "Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities" yang di rilis Oktober 2003 hingga "UNESCO Statement on Open Access to Scholarly Information" di tahun 2011.

"Akses terbuka" dalam "Budapest Open Access Initiative" didefinisikan sebagai ketersediaan artikel penelitian tertelaah secara bebas melalui internet sehingga siapa pun dapat membaca, mengunduh, menyalin, membagi, mencetak, menelusur, membuat tautan (link) ke teks lengkap artikel, tanpa halangan biaya, hukum atau teknis yang tidak terkait dengan pemerolehan akses ke internet.

Sejatinya gerakan penggunaan "akses terbuka" ini memiliki banyak manfaat bagi peneliti karena pencarian artikel menjadi lebih mudah dan efisien.

Bahkan menurut Agus Permadi, Pustakawan Madya dari LIPI, keterlihatan karya akan naik sehingga meningkatkan kemungkinan penggunaan dan menambah dampak berbentuk sitiran.

Agus menyebutkan bahwa "akses terbuka" akan menambah jumlah akses dan penyebaran sekaligus juga menurunkan biaya penerbitan dan mempercepat proses penerbitan bagi penerbit non-komersial.

Deputi Rektor Bidang Akademik, Riset dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina, Totok Soefijanto menyebut bahwa "akses terbuka" memiliki nilai positif meski ada kelebihan dan kelemahannya.

Kelemahannya, menurut Totok, adalah membuka peluang terjadinya kegiatan mencontek atau plagiat dan membebani masyarakat dengan informasi berlebih, karena masyarakat belum cukup terdidik untuk memahami tulisan-tulisan yang ada.

Namun doktor bidang pendidikan dari Boston University itu menilai secara umum bahwa akses terbuka mendorong siapa pun yang menulis untuk menjadi makin kreatif, jujur dan bertanggung jawab.

"Dia tidak bisa lagi nulis sembarangan karena sadar akan banyak orang yang akan membaca," kata dia.

Totok menambahkan bahwa membagi ilmu, memacu orang untuk tidak mengulangi apa yang sudah ditulis oleh orang lain, membagi ilmu akan meningkatkan pratek integritas dan membangun kepercayaan di masyarakat.

Argumentasi menarik tentang "akses terbuka" juga dikemukakan oleh Direktur Riset Perpustakaan Max Planck Institute Berlin, Jerman, Urs Schoepflin dalam sebuah seminar perpustakaan di UK Petra Surabaya akhir Januari 2013.

Urs Schoepflin menyebut gerakan "akses terbuka" sebagai gerakan untuk menghabisi monopoli penerbit jurnal komersial.

"Peneliti selama ini harus membayar mahal untuk memasukkan hasil penelitian ke dalam jurnal ilmiah yang dikelola penerbit jurnal ilmiah secara komersial" kata Urs Schoepflin dalam seminar bertajuk "Open Access: The Future of Repositories and Scholarly Publishing" itu.

Urs Schoepflin menegaskan bahwa kondisi ini memunculkan respons berupa munculnya berbagai penerbit jurnal "akses terbuka" yang mengupayakan agar biaya tidak lagi menjadi penghalang bagi penyebaran informasi dan hasil-hasil penelitian demi pengembangan iptek.

Dukungan terhadap "akses terbuka" juga telah dicanangkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), lewat berbagai gerakan, kegiatan dan publikasi antara lain bisa di akses di

http://www.unesco.org/new/en/communication-and-information/access-to-knowledge/open-access-to-scientific-information/.

Kemudian salah satunya adalah terbitnya buku "UNESCO The Policy Guidelines for the Development and Promotion of Open Access".

Buku ini, menurut Sri Hartinah, kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI), sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh LIPI.



Di Indonesia

Lantas, bagaimana gambaran gerakan "akses terbuka" di Indonesia? Tercatat pada November 2009 ada istilah Garuda (Garba Rujukan Digital).

Garuda ini adalah portal penemuan referensi ilmiah Indonesia yang merupakan titik akses terhadap karya ilmiah yang dihasilkan oleh akademisi dan peneliti Indonesia. Namun sayang sekali rujukan tersebut belum terdengar gemanya.

Sementara itu patut disambut baik upaya dari Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberi kemudahan akses terhadap jurnal luar negeri. Kementerian Riset dan Teknologi pada tahun 2010 telah meluncurkan portal perpustakaan digital yang berisi 2.000 jurnal ilmiah internasional di http://pustaka.ristek.go.id.

Jauh sebelum itu PDII-LIPI telah melakukan beberapa hal, dimulai dengan mengelola jurnal sejak tahun 1977 melalui kegiatan indeks Majalah Ilmiah Indonesia.

Kemudian di tahun 2009 membangun "Indonesian Scientific Journal Database" (ISJD) dan di tahun 2012 telah membuat akses terbuka untuk koleksi jurnalnya di http://isjd.pdii.lipi.go.id.

Situs ini memungkinkan akses terhadap 300 jurnal yang sudah terakreditasi LIPI dan 250 jurnal yang terakreditasi Direktorat Pendidikan Tinggi, serta jurnal publikasi LIPI.

Ada semacam kritik bahwa pemerintah dan masyarakat harus menyiapkan sistem informasi yang kuat dan saluran "bandwidth" yang besar.

Setelah ini semua dilakukan, apa yang mesti ditunggu dalam mewujudkan akses terbuka tersebut? Sedangkan ilmu yang disebar terbukti makin banyak yang memanfatkannya, makin berkembang utilitasnya, dan memungkinkan lahirnya inovasi dan temuan baru.


*) Mahasiswi Komunikasi Korporat di Paramadina Graduate School of Communication, serta Kepala Pusat Data dan Riset Perum LKBN Antara.

Oleh Dyah Sulistyorini*
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013