Bogor, (ANTARA News) - Gerakan merehabilitasi atas rusak atau terdegradasinya mangrove (hutan bakau) di Indonesia yang mencapai 70 persen dari total 8,6 juta hektar mangrove adalah sebuah upaya yang mutlak sehingga bencana ekologi tidak semakin terjadi. "Karena itu, tidak ada jalan lain bahwa rehabilitasi untuk memulihkan kembali mangrove agar kembali lestari mutlak diperlukan. Namun, tugas itu bukan hanya oleh pemerintah saja, namun perlu keterlibatan semua elemen," kata Guru Besar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir H Cecep Kusmana, MS, yang banyak mengaji persoalan mangrove di Bogor, Selasa (25/7). Diwawancarai ANTARA sehubungan dengan peringatan Hari Mangrove se-dunia yang jatuh setiap tanggal 26 Juli, ia mengemukakan bahwa setelah terjadinya serentetan gempa bumi yang diikuti dengan hantaman gelombang tsunami, khususnya yang terjadi di Aceh dan pulau Nias (Sumut), isu perlunya melestarikan mangrove menjadi isu global. Ia mengatakan, dari data yang dimiliknya sebanyak 8,6 juta hektar mangrove yang 70 persen dalam keadaan rusak itu, sebanyak 3,7 persen berada di kawasan hutan, dan sisanya di luar kawasan hutan. Problematika konversi, seperti industri pertambakan yang tidak terkendali dirujuknya sebagai faktor yang menyumbang sangat signifikan bagi rusaknya ekosistem mangrove di banyak kawasan pesisir di Tanah Air. "Sampai hari ini, dalam catatan saya, belum ada satupun daerah, provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, yang dalam tata ruang kawasan pesisirnya punya model pembangunan yang secara terpadu dapat melindungi mangrove tidak terdegradasi," kata Cecep Kusmana, yang juga Dekan Fahutan IPB itu. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang bertajuk "Bencana Ekologis dan Industri Pertambakan Perkembangan Tambak di Indonesia" disebutkan bahwa dengan panjang garis pantai 81.000 Km2 maka tidaklah menjadi sesuatu yang luar biasa jika 80 persen penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Namun, hal ini menjadi sangat luar biasa jika garis pantai yang tercatat terpanjang nomor dua di dunia tersebut ternyata menjadi tempat berbagai praktik kejahatan lingkungan (environmental crimes), satu di antaranya adalah industri pertambakan (industrial aquaculture). Dari data yang dikeluarkan Departemen Kelautan dan Perikanan RI (DKP), setidaknya sampai tahun 2005 saja diprediksi luas tambak Indonesia hampir mencapai 800,000 hektar, dengan rata-rata kenaikan jumlah luasan setiap tahunnya berkisar 14 persen. Dalam praktiknya, industri pertambakan atau yang lebih dikenal dengan tambak intensif mulai eksis di Indonesia pada tahun 1985. Pola pertambakan intensif dimasa itu menjadi sangat populer karena dapat menghasilkan keuntungan mencapai 4 kali lebih besar dalam sekali memanen, dibandingkan dengan memanen padi di sawah. Untuk memenuhi hasrat memperluas industri ini, degradasi mangrove tidak dapat dihindari, dan setiap tahunnya Indonesia kehilangan hingga 2 persen dari total keseluruhan hutan mangrove yang ada. Jalur hijau Menurut Cecep Kusmana, sebenarnya ada Keputusan Presiden (Kepres) No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dimana Kepres tersebut menetapkan jalur hijau (green belt) adalah 130 kali rata-rata perbedaan antara pasang tertinggi dan terendah, sehingga kawasan yang tidak dialokasikan untuk kegiatan pertambakan adalah kawasan sempadan pantai dengan lebar 140 meter dari garis pantai kearah daratan. Sayangnya, fakta yang ada sekarang ini, Kepres tersebut tidak dijadikan pedoman dalam pembangunan di daerah, sehingga konversi lahan di pesisir menjadi pertambakan dan juga pemukiman masih terus terjadi. Kembali merujuk pada ancaman bahaya tsunami, khususnya bagi daerah yang berwilayah pantai, ia mengemukakan bahwa telah terbukti dalam riset-riset bahwa tumbuhnya mangrove yang baik, cukup mampu untuk menahan laju energi gelombang yang langsung menuju daratan. Artinya, hutan mangrove di pesisir pantai dapat menjadi "benteng alami" yang mampu menghalangi atau mengurangi serangan angin, gelombang laut, hingga badai tsunami, termasuk pengikisan daratan akibat abrasi (gerusan air laut) pada kondisi normal. Ia memberi contoh, pada mangrove yang mempunyai ketebalan 120 meter mampu untuk menahan laju energi gelombang yang datang hingga 60 persen. "Salah satu faktanya saat kejadian gempa dan tsunami di pulau Nias, dimana pada kawasan yang hutan mangrovenya berketebalan 120 meter, diketahui hanya satu rumah saja yang jadi korban keganasan gelombang tsunami yang datang," katanya. Khusus pada kejadian tsunami yang melanda kawasan pantai Pangandaran (Jabar) dan Cilacap pada 17 Juli 2006 lalu, ia menyatakan bahwa ketinggian gelompang yang berkisar 3-4 meter, bila ekosistem hutan bakau di kawasan tersebut bagus, yakni tidak sampai dengan ketebalan hingga 120 meter, setidaknya bisa meredam gelombang pasang. Terkait dengan spirit Hari Mangrove se-dunia itu, Cecep Kusmana kembali menegaskan bahwa dengan kondisi rusaknya kawasan mangrove yang kritis di Indonesia, maka ikhtiar paling mendasar adalah membangun kembali gerakan rehabilitasi, dan tugas itu menjadi pekerjaan bersama sehingga dapat mengurangi bencana ekologi yang semakin besar.(*)

Copyright © ANTARA 2006