Jakarta (ANTARA News) - Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dibayarkan pemerintah kepada wajib pajak (WP) hingga Juni 2006 mencapai Rp5,6 triliun. "Sampai Juni Rp5,6 triliun jumlah restitusi yang sudah kita bayar. Itu memang terutama kepada para pelaku ekspor yang relatif punya track record reliable sehingga mungkin tidak menimbulkan atau tidak membutuhkan suatu penanganan yang complicated," kata Menkeu Sri Mulyani usai bertemu dengan Mendag Mari Pangestu dan asosiasi industri di Jakarta, Kamis. Meski menolak menjelaskan jumlah tagihan restitusi yang harus dibayar oleh pemerintah hingga kini, Menkeu mengatakan pemerintah masih memiliki banyak sekali perusahaan dan tagihan restitusi sejak 2001. Pemerintah, katanya, mengakui bahwa pengurusan restitusi yang pada awalnya 12 bulan dan diperpendek menjadi 2 bulan ternyata masih belum optimal karena adanya ketidakjelasan tentang kapan penghitungan 2 bulan dilakukan sehingga menjadi berlarut-larut. "Rata-rata selama ini yang tadi disampaikan oleh teman-teman di sektor riil, terutama para eksportir, berlaku adalah antara 8 sampai 2 tahun dalam hal ini," katanya. Ke depan, jelas Menkeu, pihaknya akan mematangkan sebuah formula untuk menghitung kapan waktu proses penyelesaian restitusi itu dimulai. "Nah spiritnya sekarang adalah jelas kapan kita mulai hitung. Kalau kita ngomong sebulan atau 2 bulan atau 6 bulan dan untuk para pengusaha kalau meminta restitusi dokumennya sudah jelas dan harus lengkap. Lengkap atau tidak lengkap pada satu titik tertentu yang kita sepakati di situ kita akan anggap (dokumen) paling lengkap dan kita mulai hitung jangka waktunya. Jadi ada kepastian baik pada aparat kita maupun bagi pengusahanya," kata Menkeu. Untuk mematangkan kebijakan percepatan permohonan restitusi tersebut hingga lebih konkrit, Menkeu mengatakan pihaknya membutuhkan waktu dalam satu atau dua minggu ke depan. Dalam kesempatan itu, Menkeu juga mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan masalah restitusi dan penyelundupan, pihaknya akan dibantu dari kalangan usahawan dengan pemberian informasi yang lebih banyak untuk mendiskriminasi atau membedakan mana pengusaha yang baik dan tidak baik.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006