Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 75 ribu tikus organisme pengganggu tanaman (OPT) "digropyok" atau dibasmi di tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Indramayu, Karawang, dan Subang.

"Kegiatan gropyokan hama tikus selama seminggu tersebut menghasilkan hampir 100 ribu tikus," kata Dirut PT Pupuk Kujang Bambang Tjahjono dalam keterangan pers yang diterima Antara, di Jakarta, Minggu.

"Gropyokan" tikus merupakan kegiatan pengendalian hama yang diprakarsasi PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), induk BUMN pupuk, termasuk PT Pupuk Kujang, sesuai permintaan Kementerian BUMN agar produsen pupuk membantu petani memberantas hama tikus yang tengah merajalela.

Kegiatan itu merupakan bagian dari Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) "Seminggu terakhir ini petani di Indramayu, Karawang, dan Subang disibukkan dengan kegiatan ngabuburit'. Bukan sekadar 'ngabuburit' menunggu beduk Maghrib namun ngabuburit  nguber beurit alias mencari hama tikus di sawah," ujar Bambang.

Diakuinya, petani menjadi semakin semangat memberantas tikus, karena mendapat insentif berupa uang sebesar Rp1.000 - Rp1.500/tikus yang ditangkap. Kegiatan berawal pada 28 Juli sampai 3 Agustus itu, kata dia, berhasil menangkap lebih dari 75.000-an tikus sawah.

Menurut Humas PT Pupuk Kujang Risza Maulana, petani di Indramayu paling banyak berhasil menangkap organisme pengerat tanaman itu, dengan angka 51.548 tikus, kemudian Karawang (20.308 tikus) dan Subang (3.578 tikus).

Selain memberi insentif kepada petani, kata Risza, PT Pupuk Kujang melalui tim pengendali hama juga memberikan penyuluhan dan bantuan sarana dan prasarana pembasmi hama, antara lain emposan atau pengasap, terpal penghalau tikus, belerang, bubu perangkap tikus, basmikus, media basmikus dan lain-lain.

"Hama tikus termasuk yang paling merugikan petani. "Tikus mampu menghabiskan sebanyak 13 gram sekali makan dan jika dilihat dari jumlah tangkapan tikus di tiga kabupaten, maka setara dengan 980 kg beras sekali makan atau hampir satu ton beras," ujar Rieza.

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013