Jakarta (ANTARA News) - "Dan sempurnakanlah bilangannya, angungkanlah asma Allah yang telah memberimu hidayah, agar kalian bersyukur" QS Al-Baqarah : 185.

Tatkala Rasulullah saw tengah berjalan kaki menuju tempat sholat Idul Fitri  tahun ke-2 Hijriyah, di Kota Madinah, beliau masih menjumpai anak-anak kecil berpakaian camping, asyik bermain di jalanan.

Lantas Nabi saw meminta ‘Aisyah, sang isteri, untuk mengambil pakaian di rumah dan memberikannya kepada anak-anak miskin tadi. Meskipun saat itu baru dua pekan perang Badar berlalu, meninggalkan janda-janda dan anak-anak yatim, namun Rasulullah saw tidak mau ada yang bersedih di hari bahagia itu.

Setiap menjelang Idul Fitri tiba, kerap menggelayut pertanyaan di dada. Setelah puasa, tarawih, khataman Al-Qur’an, tak henti berdzikir, shalat malam, silaturrahim dst. Lalu apa intinya? Adakah perubahannya? Hilangkah dahaga jiwa?

Konklusinya, kita kembali menegaskan posisi diri, yaitu menjadi hamba yang beribadah kepada Allah swt, Rabb Maha Pencipta. Senantiasa istiqomah dan setia dalam menjalani pengabdian tersebut.

Kemudian menyadari, betapa lemah dan fakirnya diri dihadapan Al-Khaliq, memupus semua bibit-bibit kesombongan yang pernah terbersit di dalam hati.

Rasanya – setelah lebih mengenal Allah swt, taqarrub menghampiri pintu-pintu-Nya, melalui tadabbur dan tafakkur, melalui perenungan-perenungan di kesunyian malam, melalui butiran-butiran hidayah yang bertabur selama Ramadhan, ternyata benar - Allah swt itu lebih dekat dari urat leher kita sendiri.

Meyakini: rupanya Allah senantiasa mendengarkan segala keluhan dan harapan, menerima permohonan ampunan, hadir dalam setiap munajat dan rintihan jiwa setiap hamba.

Asyik masuk sepanjang ‘Asyrul Awaakhir, sepuluh malam terakhir Ramadhan, telah menghantarkan jiwa kita ke jenjang yang lebih tinggi, ma’rifah pada-Nya. Lalu bermuara pada satu simpul jiwa taqwa, yang mewujud pada sikap: Senang bisa berbagi, mampu mengendalikan emosi, sadar akan kealpaan diri dan keinsafan mengoreksi setiap kekeliruan.

Inilah isyarat, bahwa fithrah diri mulai terkuak, cahaya hidayah menembus sirami jiwa-jiwa yang gersang, yang mungkin telah lama tertutup oleh selimut debu-debu  maksiat dan kabut-kabut kelalaian.

Geliat fitrah -yang sebenarnya adalah abadi, telah meluruskan kembali arah jalan pada tujuan yang benar Rabbaniyyiin, yaitu Allah sentris.

"Akan tetapi jadilah kalian Rabbaniyyiin (Allah sentris), dengan kalian mengajarkan Kitab (Al-Qur’an) dan dengan kalian memperlajarinya" QS Ali Imran: 79.

Kemanapun kaki melangkah, kemanapun fikiran menjelajah, kemanapun jiwa berharap, kemanapun wajah menghadap, semua bertumpu hanya kepada Yang Maha Kuasa, Allah Azza wa Jalla.

Allah Maha besar di dada, Allah Maha besar di rumah, Allah Maha Besar di Masjid, Allah Maha besar di kantor-kantor, di pasar-pasar. Allah Maha besar di sepanjang jalan, Allah Maha besar, meski dimana saja kita berada.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Walillahil hamd.(*)


Pewarta: Tifatul Sembiring
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013