Quetta, Pakistan (ANTARA News) - Serangan bom bunuh diri Taliban pada saat pemakaman seorang polisi di Pakistan, Kamis, menewaskan 30 orang, termasuk lima polisi senior.

Pemboman itu merupakan serangan mematikan ketiga terhadap sasaran pemerintah dalam waktu dua pekan, lapor Reuters.

Seorang wartawan Reuters di lokasi kejadian di kota Quetta, Pakistan barat, menggambarkan suasana kekacauan ketika polisi-polisi yang cedera membawa rekan-rekan mereka yang bersimbah darah ke dalam ambulan.

"Mereka bukan muslim. Mereka bukan manusia," kata Inspektur Jendral Mushtaq Sukhera mengenai penyerang.

"Kami tidak memiliki pilihan lain kecuali memerangi teroris," tambahnya. "Kami telah berkorban akan terus melakukannya dan tidak akan tunduk."

Sedikitnya 30 orang dipastikan tewas dan 62 cedera, kata Babar Yaqoob Fateh Mohammad, sekretaris utama provinsi.

Sebanyak 21 dari mereka yang tewas adalah polisi, kata Sukhera. Yang lain belum diidentifikasi namun anak-anak yang menghadiri pemakaman itu termasuk korban-korban tewas dan cedera, kata Mohammad.

Fayyaz Sumbal, deputi inspektur jendral operasi untuk Quetta, ibu kota provinsi Baluchistan, termasuk mereka yang tewas.

Taliban mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu.

Juru bicara Taliban Shahidullah Shahid mengatakan, pihaknya melancarkan serangan itu untuk membalas penangkapan dan perlakuan buruk terhadap gerilyawan mereka.

Sejumlah kelompok militan beroperasi aktif di Baluchistan, provinsi terbesar namun termiskin di Pakistan. Kekerasan sektarian antara Sunni dan Syiah terjadi di wilayah yang berbatasan dengan Iran dan Afghanistan itu.

Separatis Baluchistan mengobarkan kekerasan sejak 2004 untuk menuntut otonomi politik dan pembagian lebih besar dari kekayaan minyak, gas dan mineral di wilayah yang penduduknya dilanda kemiskinan itu.

Kelompok militan Lashkar-e-Jhangvi (LJ) yang terkait dengan Al Qaida juga mengobarkan serangan-serangan terhadap minoritas Syiah, dan beberapa aparat kepolisian di kota itu menyatakan mereka diancam oleh kelompok tersebut.

Pakistan dilanda serangan-serangan bom bunuh diri dan penembakan yang menewaskan lebih dari 5.200 orang sejak pasukan pemerintah menyerbu sebuah masjid yang menjadi tempat persembunyian militan di Islamabad pada Juli 2007.

Kekerasan sektarian meningkat sejak gerilyawan Sunni memperdalam hubungan dengan militan Al Qaida dan Taliban setelah Pakistan bergabung dalam operasi pimpinan AS untuk menumpas militansi setelah serangan-serangan 11 September 2001 di AS.

Pakistan juga mendapat tekanan internasional yang meningkat agar menumpas kelompok militan di wilayah baratlaut dan zona suku di tengah meningkatnya serangan-serangan lintas-batas gerilyawan terhadap pasukan internasional di Afghanistan.

Para pejabat AS mengobarkan perang dengan pesawat tak berawak terhadap para komandan Taliban dan Al Qaida di kawasan suku baratlaut, dimana militan bersembunyi di daerah pegunungan yang berada di luar kendali langsung pemerintah Pakistan.

Pasukan Amerika menyatakan, daerah perbatasan itu digunakan kelompok militan sebagai tempat untuk melakukan pelatihan, penyusunan kembali kekuatan dan peluncuran serangan terhadap pasukan koalisi di Afghanistan.

Islamabad mendesak AS mengakhiri serangan-serangan pesawat tak berawak, sementara Washington menuntut Pakistan mengambil tindakan menentukan untuk menumpas jaringan teror.

Sentimen anti-AS tinggi di Pakistan, dan perang terhadap militansi yang dilakukan AS tidak populer di Pakistan karena persepsi bahwa banyak warga sipil tewas akibat serangan pesawat tak berawak yang ditujukan pada militan di sepanjang perbatasan dengan Afghanistan dan penduduk merasa bahwa itu merupakan pelanggaran atas kedaulatan Pakistan.

Pesawat-pesawat tak berawak AS melancarkan puluhan serangan di kawasan suku Pakistan sejak pasukan komando AS membunuh pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dalam operasi rahasia di kota Abbottabad, Pakistan, pada 2 Mei 2011.


Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013