Tidak mungkin guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu berani terima uang suap jika tidak ada arahan atau perintah..."
Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya Bambang Soesatyo berharap penangkapan Kepala SKK Migas Rudi Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pintu masuk untuk mengurai praktek mafia minyak dan gas (migas).

"Tertangkapnya Rudi Rubiandini harus menjadi pintu masuk mengurai mafia migas. Tidak mungkin guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu berani terima uang suap jika tidak ada arahan atau perintah dari pejabat yang berpengaruh terkait suatu proyek dalam tata niaga migas," kata Bambang dalam siaran pers yang diterima ANTARA, di Jakarta, Minggu.

Anggota Komisi III DPR RI itu menduga uang suap yang diterima Rudi bukan hanya ditujukan untuk kepala SKK Migas saja. Akan tetapi diberikan juga kepada beberapa orang berpengaruh di sektor migas negara.

"Barangkali hal inilah yang kemudian menjelaskan kepada kita mengapa KPK, atas petunjuk Rudi, kemudian menemukan 200 ribu dolar Amerika di laci Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karyo," kata Bambang.

Menurutnya, pengakuan Rudi patut didalami oleh KPK jika ingin menguak lebih jauh lagi mengenai jaringan mafia migas dari hulu hingga hilir yang selama ini menggerogoti potensi penerimaan negara triliunan rupiah setiap tahun.

"Mengecilkan target lifting dalam APBN dan meninggikan nilai `cost recovery` adalah salah satu modus yang paling mudah dibaca. Kasus yang terungkap dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) Rudi itu baru dari satu perusahaan, itupun tergolong perusahaan berskala kecil." katanya.

Bambang yakin bahwa masih terdapat puluhan perusahaan migas raksasa kelas dunia yang diduga melakukan praktik yang sama.

"Praktik seperti Rudi Rubiandini itu tidak sendiri. Itu sebabnya KPK bisa menemukan uang 200.000 dolar AS di ruang Sekjen Kementerian ESDM. Maka, kasus Rudi Rubiandini memang patut dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap `perselingkuhan` bisnis-politik dalam industri migas di Indonesia," kata dia.

"Tentu saja penyelidikan harus diarahkan ke atas, karena `perselingkuhan` atau persetujuannya memang dimulai dari atas," pungkasnya.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013