Jakarta (ANTARA News) - Pertanian merupakan salah satu usaha yang rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim dan sebagai usaha yang penuh risiko perlu mendapat perlindungan dari peluang kegagalan sehingga para pemangku kepentingan menikmati "madu" dalam bisnis itu.

Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional terjadi secara runtut, mulai dari pengaruh negatif terhadap sumber daya (lahan dan air), infrastruktur pertanian (irigasi) hingga sistem produksi melalui produktivitas, luas tanam dan panen. Petani juga memiliki sumber daya yang lebih terbatas untuk dapat beradaptasi pada perubahan iklim.

Risiko pertanian yang biasa melanda usaha ini adalah gagal panen yang berasal dari kejadian perubahan iklim ekstrem, serangan hama atau rendahnya penggunaan teknologi pertanian.

Para pengamat sependapat bahwa salah satu alternatif untuk mendapat perlindungan dari peluang kegagalan adalah dengan menerapkan asuransi pertanian. Meskipun pelaksanaannya cukup sulit, bukan berarti tidak ada harapan. Beberapa negara telah menerapkan asuransi pertanian dan terbukti sukses.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa, asuransi pertanian berkembang pesat dan efektif untuk melindungi petani. Oleh karena itu, asuransi pertanian termasuk salah satu strategi untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Kondisi ini berbeda dari yang berlaku di negara berkembang.

Perkembangan asuransi pertanian beragam dan belum menampakkan hasil yang memuaskan. Di Taiwan, asuransi pertanian berkembang dengan baik; di India, Bangladesh, dan Filipina perkembangannya lambat, sedangkan di Thailand kurang berkembang.

Di Indonesia, asuransi pertanian belum terwujud meskipun sejak tahun 1982--1998 telah tiga kali (1982, 1984, dan 1985) dibentuk Kelompok Kerja Persiapan Pengembangan Asuransi Panen. Pada tahun 1999, pengembangan asuransi pertanian dicanangkan lagi. Pembahasan serius telah dilakukan, tetapi untuk melangkah ke tahap implementasi perlu pertimbangan yang matang. Kementerian Pertanian sedang menyiapkan program asuransi untuk petani yang gagal panen atau puso.

Jelas bahwa masih dibutuhkan berbagai masukan untuk merumuskan kebijakan, strategi, program, perintisan, dan instrumen kelembagaan yang sesuai dengan strategi pengembangan seperti yang tercermin dalam forum diskusi terarah (FGD) yang diadakan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Bappenas di Jakarta, Kamis (22/8).

Untuk mewujudkan asuransi pertanian, Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian, Sahat M. Pasaribu mengatakan proyek-proyek percontohan terus dikembangkan di berbagai provinsi.

Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) mengenai asuransi pertanian diperkirakan bakal rampung September ini dan baru dapat diimplementasikan pada 2014 mendatang.

Sasaran asuransi pertanian ini untuk petani yang sangat rawan dan secara ekonomi sangat lemah yakni para petani tanaman pangan seperti padi. Usulan premi yang diajukan pemerintah senilai Rp180 ribu per hektare per musim tanam dengan nilai pertanggungan Rp6 juta per hektare setiap musim tanam.

Kementerian Pertanian telah mengusulkan anggaran Rp345 miliar untuk subsidi premi asuransi dalam RAPBN 2014. Rencananya, pemerintah akan menanggung 80 persen biaya premi sementara petani hanya menanggung 20 persen atau Rp36.000 per hectare per musim tanam.

Apabila petani hanya memiliki 0,25 hektare sesuai dengan rata-rata kepemilikan lahan, nilai preminya pun akan lebih rendah atau hanya perlu bayar Rp9.000.

Nilai tersebut dihitung dari biaya tanam. Sasarannya adalah apabila lahan petani mengalami puso, petani dapat segera menanam kembali dengan uang pertanggungan tersebut. Pembayaran premi dilakukan tiap musim tanam. Misalnya, untuk musim tanam April-September, petani harus membayar premi pada Maret. Dan untuk musim tanam Oktober-Maret, petani harus membayar premi di September.

Sahat mengatakan pada tahun ini bakal dilakukan uji coba kembali untuk musim tanam Oktober-Maret dengan luas sekitar 3.000 hektare di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatra Selatan dan beberapa uji coba serupa pada tahun-tahun mendatang.

Badan Kerja sama Internasional Jepang (JICA) menyediakan dana bantuan untuk subsidi premi bagi uji coba, kata dia.

Asuransi ini tergolong barang baru bagi petani. Ada petani yang bertanya untuk apa pakai asuransi, toh lahannya ada irigasi teknis dan lahannya bagus. Tapi ternyata beberapa waktu lalu di lahan uji coba yang memakai irigasi teknis ada juga yang terkena puso dan mereka sekarang tertarik untuk memakai asuransi.

Beberapa perusahaan pelat merah yang telah diajak bekerja sama antara lain PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dan Askrindo.

Direktur Operasi Ritel PT Jasindo Sahata L. Tobing menilai asuransi usaha tani padi merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah dalam melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani. Suatu skim perlindungan untuk petani terhadap risiko gagal panen akibat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), banjir dan kekeringan dalam 1 (satu) musim tanam.

"Bapepam telah mengeluarkan izin produk secara konsorsium," kata dia.

Kalau berbicara di tingkat nasional Sahat optimistis asuransi pertanian dapat diberlakukan di Indonesia karena ada peluang usaha yang melibatkan jutaan petani.

"Kesempatan bisnis ini madu karena ada perputaran uang premi yang besar kalau dilaksanakan secara nasional," kata dia.

Program uji coba asuransi pertanian telah dilakukan sejak Juli 2012. Hasilnya, banyak petani yang mengajukan klaim karena gagal panen pada triwulan I tahun itu. Meski merugikan bagi perusahaan asuransi, situasi itu menandakan sistem bisa berjalan. Namun perusahaan-perusahaan asuransi mulai melirik sektor ini dan mereka dalam tahap menunggu perkembangan kebijakan dan payung hukum supaya terhindar dari bisnis yang beracun.
(M016/Z002)

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013