Jakarta (ANTARA News) - Dalam sejarah Media Center Haji (MCH), tak satu pun jurnalis yang meliput penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi mengantongi visa untuk liputan haji.

Meski dalam bekerja di Tanah Suci tak leluasa menjalankan profesinya seperti mengambil gambar atau foto di kawasan Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah, tapi mereka masih mampu menghasilkan karya terbaiknya.

Tatkala seorang jurnalis tertangkap Askar (polisi) setempat, karena melakukan kesalahan, tidak satu pun rekan-rekan mereka yang dapat membebaskannya.

Hal itu karena pemahaman tentang kultur, hukum, dan perilaku polisi setempat yang diperoleh para jurnalis dari Tanah Air sangat minim. Terlebih, kemampuan Bahasa Arab tidak semua jurnalis dari Tanah Air memilikinya.

Kalaupun memiliki kemampuan Bahasa Arab yang lumayan, tidak serta merta seseorang yang sudah tertangkap Askar dengan mudah dapat melenggang bebas. Kemampuan berkomunikasi saja tidak cukup. Lalu, siapa yang bisa membebaskan sang jurnalis itu?.

Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, yang dapat membebaskan adalah petugas juru runding yang tergabung dalam PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji) Arab Saudi.

Sekadar diketahui, PPIH Arab Saudi yang dibentuk Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh berada di bawah koordinator Kantor Teknis Urusan Haji (TUH) dengan beberapa seksi.

Beberapa seksi itu antara lain seksi perumahan/pemondokan, seksi transportasi, dan seksi pengamanan (PAM).

Nah, di bawah seksi PAM itu ada beberapa orang yang ditugasi sebagai juru runding untuk mengatasi berbagai hal; seperti yang menyangkut urusan dengan pihak kepolisian kerajaan setempat. Belum lagi seksi kesehatan yang banyak melibatkan dokter spesialis.

Terkait dengan persoalan pembebasan bagi seseorang yang terjerat hukum setempat saat musim haji, biasanya orang yang ditugasi tersebut bertindak seperti "lawyer".

Memang tugas seksi PAM itu tak hanya menyangkut kasus kriminal seperti pencurian, penipuan dan jemaah sesat yang diderita para jemaah haji, tetapi juga terkait dengan masalah hukum perikatan pemondokan haji. Realitas di sana, ada kontrak pondokan diputus secara sepihak.

Pada musim haji 1434 H/2013 M, jumlah jamaah haji Indonesia yang akan berangkat sebanyak 168.800 dengan rincian 155.200 orang untuk haji reguler dan haji khusus 13.600 orang.

Ini setelah dilakukan pemotongan kuota sebesar 20 persen dari kebijakan Saudi Arabia akibat dampak perluasan kompleks Masjidil Haram.

Jumlah yang dipotong sebanyak 42.200 dengan perhitungan berdasarkan basis kuota 211.000 orang. Jumlah potongan itu terdiri dari 38.800 haji reguler, dan 3.400 haji khusus.

Selain itu, pada musim haji kali ini, Ditjen PHU menyertakan petugas haji non-kloter sebanyak 800 orang dari berbagai instansi.



Wartawan "Embedded"

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji menegaskan bahwa Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.

Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan

pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jamaah Haji.

Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jamaah, sehingga dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran Agama Islam.

Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Kebijakan dan pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Menteri Agama mengoordinasikan dan/atau bekerja sama dengan masyarakat, departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah membentuk satuan kerja di bawah Menteri, termasuk unsur pengawasan yang di dalamnya melibatkan wartawan.

Di sisi lain, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, saat musim haji berlangsung tak pernah mengeluarkan visa bagi wartawan atau jurnalis untuk meliput.

Kalaupun itu terjadi, tentu hal itu merupakan pengecualian dan yang bersangkutan merupakan tamu raja. Atau, bisa jadi atas undangan Rabithah Alam Al Islami (Liga Dunia Muslim) yang didirikan pada Mei 1962, sebuah organisasi dunia Muslim yang sifatnya nonpolitik.

Penyertaan wartawan dari berbagai media massa dan terhimpun dalam MCH untuk meliput kegiatan penyelenggaraan haji sesungguhnya atas inisiatif Dirjen PHU untuk mengomunikasikan kepentingan Indonsia, terutama jamaah yang sedang menunaikan ibadah haji dengan keluarganya di Tanah Air.

Sementara visa yang didapat para wartawan itu juga sama dengan petugas PPIH, yaitu visa haji. Kemenag tidak pernah meminta kepada Kedubes Saudi visa liputan haji. Karena itu, untuk liputannya pun terbatas pada dua kota suci, yakni Mekkah dan Madinah plus Jeddah.

Di luar itu, misalnya untuk pergi ke kota Riyadh dan Thoif harus terlebih dahulu mendapat izin dari KJRI di Jeddah. Penyertaan wartawan dalam MCH itu tidak menyalahi aturan yang berlaku bahwa penyelenggaraan ibadah haji meliputi unsur kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan.



Fungsi pengawasan

Penyertaan awak media dalam liputan haji merupakan bagian dari fungsi pengawasan. Hal ini sejalan pula dengan fungsi pers, yaitu pers sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran informasi yang mempunyai misi ikut mencerdaskan masyarakat, menegakkan keadilan mencerdaskan masyarakat.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan hajat hidup mereka, termasuk urusan "tetek bengek" pelaksanaan ritual haji di Tanah Suci. Untuk itulah, pers sebagai lembaga kemasyarakatan dituntut untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi masyarakatnya.

Namun, di sisi lain, keikutsertaan awak media itu bisa pula dimaknai sebagai wartawan "Embedded". Realitas ini harus diakui. MCH memang bagaikan "embedded reporters" --yang menempel seperti pada pasukan dalam operasi militer.

Para wartawan mengabarkan dari tempat kejadian, langsung dari Tanah Suci. Mereka berupaya memenuhi "people rigth to know", hak masyarakat untuk mengetahui mengenai segala hal mengenai penyelenggaraan haji.

Di sini, para wartawan seolah melakukan "investigative reporting". Sebuah laporan yang bertujuan mulia, guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui ("people right to know") dari apa yang dirahasiakan oleh pihak-pihak lain yang merugikan kepentingan umum.

Kedengarannya hebat, kan? Tapi, kini yang menarik dalam liputan haji itu sudah independen-kah wartawan itu?.

Animo wartawan meliput penyelenggaraan haji tiap tahun cenderung meningkat. Ini bisa dipahami lantaran pertumbuhan lembaga media massa, baik elektronik (radio dan televisi) maupun cetak, dan media "online" makin berkembang pesat. Belum lagi segmen pasar yang menjadi sasaran sebagai penonton atau pembaca di kalangan umat Islam demikian besar.

Para wartawan yang mengajukan diri kepada Kemenag itu, setelah melalui proses seleksi, lantas ikut pelatihan bersama petugas haji lainnya. Mereka itu dibiayai sepenuhnya oleh Kemenag melalui dana APBN.

Wartawan dari berbagai media massa itu kemudian tergabung dalam MCH, tersebar di tiga kantor Daker; Mekkah, Jeddah dan Madinah. Seluruh fasilitas penginapan disediakan di tiap Daker, kecuali di Jeddah ditempatkan secara terpisah lantaran tak ada kantor tetap. Enak dong, bisa pergi haji sambil tugas, bahkan dapat uang saku pula.

Jika demikian tentu wartawan MCH tak independen lagi. Untuk menjawab anggapan itu memerlukan diskusi panjang.

Tapi, sekalipun wartawan membiayai dirinya sendiri untuk meliput penyelenggaraan haji, bisa saja dilakukan, namun kesulitan bisa dijumpai, sebab yang bersangkutan, untuk tugas itu, kedutaan besar Saudi tak pernah mengeluarkan visa liputan haji. Untuk mendapatkan visa haji prosedurnya harus melalui Kemenag.

Jadi bisa dilakukan dengan cara meminta bantuan kementerian terlebih dahulu. Itu pun setelah melihat kuota yang diberikan Saudi. Jika mengganggu dan mengurangi kuota jamaah secara keseluruhan, tentu mustahil visa haji untuk meliput di sana dapat diperoleh. Besaran kuota wartawan untuk meliput jauh sebelumnya sudah diatur pihak Kemenag.

Tentang netralitas atau independensi wartawan, tentu bisa dijaga, sebab sebelum wartawan disertakan meliput perhelatan akbar tersebut diikutkan dalam pelatihan bersama petugas PPIH selama 10 hari di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.

Dari pelatihan yang diikuti para wartawan itu, diharapkan bisa diperoleh persepsi atau pemahaman tentang tugas, hak dan tanggung jawab PPIH Arab Saudi.

Penyertaan wartawan "embedded" itu mengingatkan pada pembukaan operasi militer dari operasi terpadu pemulihan Aceh yang disiarkan serentak oleh media massa nasional, bahkan di beberapa televisi malah disiarkan secara live dari wilayah konflik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Kalau pemirsa tidak mendengar narasinya atau tidak mengenali wajah dan seragam TNI-nya, mungkin pemirsa menduga itu adalah Operasi Amerika Serikat di Irak.

Sebagian dari para wartawan peliput penyerbuan pasukan-pasukan TNI ke lokasi-lokasi yang dikuasai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah para wartawan yang beberapa minggu sebelumnya telah mengikuti penataran kemiliteran di pusat latihan militer milik Kostrad di Gunung Sanggabuana, Jawa Barat.

Para wartawan media Jakarta itu, kemudian di-"embedded"-kan kepada sejumlah pasukan TNI yang melakukan operasi di berbagai wilayah di NAD.

Atmadji Sumarkidjo, wartawan senior dan pengamat milier, mengatakan muncul suara suara pro dan kontra setelah penataran itu.

Yang kontra, mencurigai bahwa penataran itu adalah untuk men-"brainwash" para wartawan sehingga akan melaporkan hal-hal yang baik mengenai pasukan TNI yang akan mereka ikuti, sementara pihak yang mencoba melihat soal itu secara jernih yakin bahwa pemberian perbekalan tersebut justru akan memberi pengertian yang lebih baik dan mendalam mengenai segi-segi lain dari suatu operasi militer.

Pihak yang berpikiran positif melihat bahwa dengan pengetahuan yang diberikan, para wartawan mendapat "ilmu" tambahan untuk menyelamatkan diri bila terjadi konflik bersenjata yang nyata di hadapan mereka.

Atmadji berpendapat bahwa karena sisi operasi pemulihan keamanan di NAD menjadi sorotan berbagai pihak yang tidak menginginkan terjadinya lagi peristiwa Daerah Operasi Militer (DOM), maka setiap langkah dari operasi tersebut harus bisa ditempatkan dan dijaga agar tetap berada dalam koridor hukum dan demokrasi.

Di sinilah harus diakui bahwa unsur pengawasan yang paling efektif adalah media massa. Dengan kemajuan teknologi sekarang, setiap penyimpangan prosedur atau pelanggaran HAM mampu dilaporkan dalam waktu cepat kepada khalayak.

Pers mampu melakukan hal itu, pers yang independen dan mampu terus mengedepankan prinsip tidak berpihak secara konsisten. Tentu, penyertaan awak media massa dalam liputan MCH pada musim haji 2013 ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif seperti yang sudah berlangsung selama ini.

*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara dan peliput haji.

Oleh Edy Supriatna Sjafei *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013